JIKA seni dikatakan terpaut erat dengan dunia politik, terutama dalam bingkai diplomasi pun birokrasi; tak perlu jauh mencari referensi.
Seperti disebut oleh jurnalis Cindy Adams tentang Bung Karno (Sukarno My Friend, 1970), dengan mengutip pernyataan si Bung Besar:
Irama suatu revolusi adalah mendjebol dan membangun, yang menghendaki djiwa seorang arsitek. Di dalam djiwa arsitek terdapatlah unsur-unsur perasaan dan djiwa seni.
Bung Karno pada 1943 sebelum menjadi Presiden piawai menggunakan seni pada masa krisis perang Asia Timur Raya.
Baca juga: Pameran Seni Rupa Sugih Ora Nyimpen, Gambarkan Sosok Mendiang Jakob Oetama
Sebagai alat diplomasi tingkat tinggi dengan memberi hadiah pada Hitoshi Imamura, Panglima ke-8, Jenderal pasukan Dai Nippon kawasan Jawa, Kepulauan Solomon dan Panua Nugini.
Dengan sebuah lukisan potret diri sang Jenderal yang dibuat pelukis Basoeki Abdullah.
Sebagai seniman berbakat, pada masa pengasingan di Ende, Flores (1934), Bung Karno membuktikan memproduksi lukisan-lukisan cat air yang elok.
Selain itu, sebagai apresiator cukup dekat dengan seniman tak hanya yang lokal, tapi sempat menjadi model bagi pematung, arsitek lansekap dan desainer tenar dari Amerika Serikat berdarah Jepang, Isamu Noguchi.
Dalam tulisan ini ada dua seniman merangkap diplomat atau birokrat yang patut didedah motif “estetiknya” yang menyetubuh dalam kehidupan personalnya sehari-hari; selain memproduksi karya-karya seni.
Dua perempuan ini, Sri Astari Rasjid dan Dyan Anggraeni yang pada Maret-April nanti bersama delapan seniman perempuan lain berpartisipasi di pameran Indonesian Women Artists: Infusion into Contemporary Art yang diselenggarakan Cemara 6 Museum dan Galeri.
Hal ini, cukup memberi gambaran jelas, seni lekat dalam perspektif tata kelola pemerintahan dan diplomasi politik.
Baca juga: 3 Etika Saat Berkunjung ke Pameran Seni
Sejak usia belia, Astari bertumbuh dari kelas menengah dididik oleh kedua orangtuanya, yang juga seorang diplomat. Sebagai cikal bakal penting yang tak disadari sepanjang hidupnya kelak, yakni: kesantunan dan rasa hormat pada sang liyan.
Kemampuan nonverbal itu setara dengan kecakapan kognitif menjadi bekal tampil di publik secara elegan.
Seniman ini, yang tenar dengan bahasa ekspresi idiosyncratic, yakni karakter unik dan khas yang melekat dalam diri seseorang, terpaut pada kultur lokalnya (Jawa), memang berbakat berelasi dengan berbagai kalangan.
“Sejak muda saya menekuni jurnalisme di sebuah majalah mode di Jakarta, sebagai Pemimpin Redaksi pada usia pertengahan 20-an, mendapat wawasan luas terutama dunia seni dengan ekosistem yang melingkupinya” katanya.
Bagi Astari ini modal awal, kemudian tumbuh menguat tatkala ia benar-benar harus mewakili Indonesia sebagai seniman visual di manca negara, sebelum akhirnya menjadi duta besar.
Seni Diplomasi (Art of Diplomacy), seperti judul bukunya yang diluncurkan tahun lalu, adalah narasi tentang soft power dengan pendekatan kultural.
Kekuatan memenangkan hati bangsa-bangsa lain dengan seni; dan kebudayaan secara luas bagi perwakilan resmi duta-duta negara-negara sahabat yang selalu ia temui dalam tugasnya sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Bulgaria, Macedonia Utara dan Albania pada 2016-2020.
“Saya memang awalnya bergabung di sebuah partai politik di departemen seni dan budaya, semata-mata memberi cakrawala bahwa politik tanpa seni adalah mustahil. Dan, teman-teman di partai bersetuju, saya diajukan menjadi kandidat duta besar dan terpilih,” kenangnya.
Tak ada yang asing bagi Astari kala ditugaskan di negara Bulgaria, yang menjadi imperium bangsa kuno tertua di kontinen Eropa Timur---sejak masih belia Astari seringkali bersama orang tuanya melawat ke Eropa.