Negeri itu, Balkan region yang mana berlatar ikatan erat pertemuan wilayah Timur Tengah dan yang Barat. Secara geografis, Turki menjadi pintu masuk teritori Timur dan berseberangan dengan wilayah Yunani.
“Itu menguntungkan geografinya. Menjelaskan pendekatan diplomasi kebudayaan yang berkarakter muktikultural antara warisan Romawi Kuno, era Byzantium sampai jejak kesultanan Otoman yang bercampur, persis seperti suku-bangsa-suku bangsa di Indonesia. Tentu kemiripan universal dalam lingkup negeri-negeri berciri melting pot,” ujarnya.
Astari memang bersikap tak menunggu. Sejak ia mulai ditugaskan menjadi duta besar, segera menggebrak dengan serangkaian program, seperti menyusun Indonesian Permanent Collection, sebuah ruang khusus dengan objek-objek dan item tertentu dari budaya tradisi Indonesia di Galeri Nasional Bulgaria.
Sekaligus juga event Asian Festival yang diselenggarakan bahkan sampai tiga kali yang sayangnya tahun 2020 merebak pandemi dan harus dihentikan.
Neraca Perdagangan Indonesia-Bulgaria sempat melesat hingga kuartal pertama 2020 mencapai 500 persen sejalan dengan aktifnya Astari membangun jembatan komunikasi yang intensif dengan lembaga Kamar Dagang Indonesia-Bulgaria dan para pengusaha-pengusaha secara personal.
Sehingga satu saat, di depan Kemenlu RI pada waktu kunjungan ke sana, Presiden Bulgaria sendiri memberi apresiasi tentang Duta Besar kita saat itu yang paling berprestasi.
“Yang menakjubkan, saya oleh elite Pemerintahan Bulgaria dianggap sebagai anchor dari Asia yang mampu mengoordinasi dan mewakili negara-negara yang tergabung di acara Asian Festival, seperti Arab Saudi, China, Jepang, India, Iran, UEA dan Korea Selatan. Seolah-olah, saya menjadi juru bicara dari Asia,” katanya.
“Sebab, saya yang berinisiatif melakukan pendekatan ke pemerintahan Bulgaria dan memulai menggelar festival itu,” imbuhnya.
Dengan kelincahannya bernegosisasi, aktif membuat terobosan program-program budaya yang berselimur industri, dalam berbagai kesempatan, ia menceritakan dirinya sebagai seniman pada kolega diplomat lain.
Ia tak ragu, berbagi cerita tentang gagasan-gagasan berkeseniannya; selain pengalaman-pengalaman lama dengan jejaring relasi yang luas sejak 80-90-an, salah satunya dalam peristiwa hajatan KIAS, pameran-pameran seni rupa Indonesia-Amerika.
Astari berpartisipasi sebagai seniman dalam acara di Italia dengan MACRO Museum (Museum of Contemporary Art of Rome) dengan juluk Beyond The East, perhelatan seni kotemporer Indonesia di Roma (2011) sampai Venice Biennale (2013).
Dengan demikian, pengalaman-pengalaman penting itu makin memberi jalan kemudahan melakukan diplomasi politik tingkat tinggi via seni rupa pada saat menjabat Duta Besar.
“Seringkali, skema anggaran yang terbatas dari Kemenlu RI saya coba secara kreatif padukan dengan sejumlah mitra yang mungkin berkepentingan dengan pasar di Eropa. Untuk mencari solusi program yang sudah kita susun sejak awal tahun; terutama dengan andalan acara, yakni Asian Festival,” katanya.
Astari secara luwes memadukan berbagai elemen lembaga pemerintahan seperti Kemendikbud RI, lintas sektoral Kementerian, para Kepala Daerah/Gubernur/Walikota yang melihat potensi industri wisata dan kreatif dua negara, sampai museum privat dan kolektor seni serta dunia finansial-perbankan ia coba relasikan dengan sangat cermat.
“Kita membutuhkan pendekatan politik yang berbeda, lewat perspektif kebudayaan, memaksimalkan apa yang kita miliki dengan karya-karya seni dan indutri kreatif berbasis kekayaan kutural pun sumber-sumber daya manusia terbaik yang pernah kita punya,” katanya.
“Dalam pengalaman saya tahun lampau sebagai impresariat seni cum diplomat; yang saya semestinya mengundang sebuah konser dan opera besar dari Tanah Air, dipentaskan di sebuah koloseum atau museum kuno di sana, yang sayangnya lagi-lagi terhenti karena pandemi pada 2020,” ujar Astari.
“Tentang karya-karya saya yang menunjukkan bahwa peran kesetaraan perempuan di ranah publik, sebagai pemimpin dalam budaya Jawa, tentu dipengaruhi oleh cara saya memandang hidup yang saya lakoni. Kelak, saya menyiapkan karya khusus untuk acara Indonesian Women Artists: Infusions into Contemporary Art pada Maret-April ini di Cemara 6 Museum-Galeri,” pungkas Astari.
Sementara itu, seniman cum birokrat, Dyan Anggraeni lebih mudah menyesuaikan dirinya dalam tata-kelola institusi pemerintahan. Mengingat, ia sejak awal pegawai negeri di lembaga seni dan budaya, yakni Taman Budaya Yogyakarta.