Ia mudah memfasilitasi para seniman dengan yang disebut “rumah besar bersama” jika muncul berbagai kendala kebuntuan birokrasi dan menuntut jalan keluar yang tak biasa.
Seperti disampaikan pada penulis, ia melakukan “akrobat” sedemikian rupa dalam menembus kakunya birokrasi, mempresentasikan program-program yang visioner pada struktur pimpinan diatas.
Sampai satu saat, sempat menolak berkompromi dengan atasan, demi misi mencapai program-program yang menjadi komitmen bersama antara pimpinan-bawahan di Taman Budaya sejak awal.
“Saya tahu tata kelola pemerintahan itu penuh formalitas dan normatif sifatnya; berbeda dengan realitas yang harus dihadapi,” katanya. Tapi menurut Dyan, justru itu menantangnya mencari solusi.
Sebagai contoh, ajang prestisius Biennale Jogja, gelaran festival seni rupa dua tahunan bergengsi merupakan program andalan Taman Budaya dengan gaung mengglobal harus terselenggara meski dana sangat terbatas dan fasilitas minim.
Dyan menggalang dukungan berbagai kalangan. Membentuk tim solid, bertukar pikiran secara mendalam dan terbuka, mengundang tak hanya sumber dari Taman Budaya dan instansi pemerintah namun mengumpulkan berbagai profesional di luar pegawai negeri, seperti arsitek, institusi galeri, dan museum serta seniman.
Memang tak harus berupa finansial, namun sumbangsih pemikiran, dukungan dari berbagai jejaring profesi dan institusi yang terlibat. “Ini menumbuhkan semangat dan kepercayaan diri secara guyub dan itu ditebus dengan suksesnya sebuah peristiwa seni atau pergelaran budaya yang mendapat respon publik,” katanya.
Dari sana, ia terus-menerus mendapatkan inspirasi untuk tak hanya melayani publik, juga konsentrasinya meniti karir sebagai seniman; yang ia sebut justru datang gagasan besar karyanya dari kompleksitas iklim kerjanya sebagai birokrat.
“Seringkali, dikala mengantor, usai mengantar anak pada pagi hari, saya menyempatkan merenungi proses birokrasi, serta melukiskannya di sudut ruangan kerja,” katanya.
Topeng dan tubuh manusia-manusia selalu muncul di karya lukisnya, seolah simbol bagaimana terus-menerus ia memberi jejak masa lalu: mengkritisi, memberi jedah dan mencari jalan bagi seniman-seniman untuk tetap berkreasi di Taman Budaya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.