Di era Uni Soviet, sejumlah pesastra hebat Indonesia pernah eksis. Sekadar menyebut nama-nama besar seperti mendiang Prof Intoyo, sastrawan Utuy Tatang Sontani, dan penyair cum sineas Awal Uzhara. Mereka adalah tokoh-tokoh sastra yang pernah mengajar di Moskwa.
Prof Intoyo adalah penyair yang pada tahun 1930-an menulis sajak dalam bentuk soneta. Dia juga sempat bekerja sebagai redaktur di Balai Pustaka, sebelum ditugaskan ke Uni Soviet. Karya sajaknya pernah termaktub dalam sejumlah antologi dalam bahasa Prancis dan Rusia.
"Bapak saya resmi dikirim untuk mengajar di MGIMO (Institut Hubungan Internasional Negeri Moskow) pada tahun 1956, tiga pekan setelah kunjungan resmi Presiden Sukarno pertama ke Uni Soviet," ungkap Ami Intoyo, anak pertama mendiang Prof Intoyo.
Baca juga: Penyair Iwan Jaconiah Raih Honor Award di Festival Sastra Dunia Chekhov 2019
Kedatangan Prof Intoyo untuk mengajar Bahasa Indonesia ditandatangani langsung oleh kedua pemimpin Indonesia-Soviet, saat itu. Yaitu, Presiden Soekarno dan Nikita Khrushchev. Hubungan itu kian menjadikan Bahasa Indonesia resmi sebagai mata kuliah wajib "melepas diri" dari Bahasa Melayu.
Sedangkan, Utuy bermigrasi dari Beijing ke Moskwa pada 1973. Dia menumpangi kereta Trans Siberia. Tujuan awal hendak berobat ke Belanda, namun dia memutuskan untuk turun di Moskwa.
Utuy banyak berkarya dan sempat menjadi pengajar pada Institut Asia Afrika di Universitas Negeri Moskwa Lomonosov. Dia tinggal hingga ajal menjemputnya.
Sontany dimakamkan di Mitinskoye Kladbishche, pekuburan Rusia di pinggiran Kota Moskwa. Kini, makam Utuy telah menjadi obyek wisata dan ziarah sastra bagi kaum peneliti.
"Nama tokoh-tokoh ini hampir tenggelam. Saya yakin, sedikit sekali pelajar yang mengetahui nama Intoyo dan Utuy. Padahal, mereka telah berjasa mengajar bahasa Indonesia di Rusia," jelas Iwan Jaconiah, kurator antologi puisi "Doa Tanah Air”.
Penyair yang baru saja meluncurkan buku kumpulan puisi Hoi! (2020) itu menjelaskan bahwa pengerjaan buku antologi puisi tersebut menjadi tantangan. Terutama, untuk dapat merangsang daya analitik dan daya pikir kritis para pelajar yang sedang kuliah di Rusia.
"Sekarang sedang masa pandemi. Semua mahasiswa baru sedang belajar secara online di podgotovitelni fakultet. Puisi, sebenarnya tidak asing bagi mereka. Saya hanya dorong agar ada geliat menulis puisi sebagai upaya membumikan kembali puisi Indonesia di Rusia," jelas Iwan.
Masing-masing mahasiswa memiliki latar belakang jurusan dan disiplin ilmu berbeda-beda. Namun, puisi dapat menyatukan gelora nasionalisme. Di pundak pemuda, Sumpah Pemuda pernah diucapkan lewat puisi pada 1928. Jauh sebelum Indonesia diproklamasikan Bung Karno-Bung Hatta.
Lewat wadah puisi, para pelajar secara tak langsung telah ikut membangun peradaban bangsa. Sebagaimana Presiden Joko Widodo telah menancapkan "Kapsul Waktu" di Merauke, Papua, beberapa tahun lalu.
Kapsul itu berisi coretan sajak, doa, dan mimpi generasi muda Indonesia. Baru akan dibuka kelak pada 2085 mendatang.
Peserta adalah mereka yang menyukai tulis-menulis. Komposisi penulis puisi terdiri dari 80 persen pelajar S1-S3 di Rusia, 10 persen alumni Rusia, dan 10 persen para peneliti/dosen/pelancong/wartawan yang pernah meneliti dan mengunjungi Rusia.
Persyaratan umum, yaitu setiap peserta mengirimkan sepuluh (10) karya puisi original, bukan saduran, plagiat, dan belum pernah dipublikasikan, baik di media cetak maupun media sosial apapun.