Oleh karena itu, mereka menuntut sekolah memproses kasus perundungan Sun Ho dengan menginterogasi teman-temannya. Namun, tuntutan ini diprotes oleh orangtua siswa yang lain dan ditolak oleh wakil kepala sekolah.
Bagi orangtua Sun Ho, perundungan merupakan masalah serius, tetapi masalah sepele bagi orangtua dari siswa-siswa yang memukuli Sun Ho.
Bagi mereka, Sun Ho bukan korban perundungan. Ia tidak dirundung, tetapi sedang terlibat dalam perkelahian dengan teman-temannya, dan perkelahian antarremaja itu wajar sehingga tidak perlu dipersoalkan. Oleh karena itu, mereka melarang anak-anak mereka meminta maaf.
Demi memperjuangkan keadilan bagi putranya, kedua orangtua Park Sun Ho terus melakukan penyelidikan mandiri meskipun menghadapi tekanan dan protes dari orangtua dari siswa-siswa yang lain dan pejabat sekolah, termasuk pemilik sekolah, Oh Jin Pyo.
Jin Pyo berupaya melindungi putranya, Joon Seok, dari jeratan hukum karena ia pewaris tunggal dari perusahaan yang dipimpinnya.
Kedua orangtua Sun Ho kemudian menemukan fakta bahwa perundungan yang mereka sedang selidiki lebih buruk dari apa yang mereka duga sebelumnya, dan putra mereka ternyata bukan satu-satunya korban.
Beautiful World menyadarkan kita bahwa orangtua tidak boleh sepenuhnya percaya bahwa sekolah merupakan tempat yang aman bagi anak.
Dengan menonton Beautiful World, kita akan menjadi lebih waspada akan tiga hal, yakni buruknya sistem pengawasan sekolah sehingga guru atau wali kelas gagal mendeteksi praktik perundungan di lingkungan sekolah; lemahnya hubungan interpersonal antara murid dan guru sehingga murid takut melaporkan kasus perundungan kepada guru atau wali kelas; dan matinya nurani pejabat sekolah sehingga ia lebih memprioritaskan menjaga nama baik sekolah dari pada membela korban perundungan.
Beautiful World juga membuat kita lebih peka kepada korban perundungan.
Masalah perundungan, sayangnya, masih dianggap remeh oleh sejumlah guru dan orangtua sehingga keluhan dari siswa yang menjadi korban tidak digubris. Akibatnya, mereka lebih memilih memendam dari pada menceritakan kekerasan yang dialaminya.
Perundungan tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga berbentuk kekerasan verbal seperti ejekan terus menerus terhadap bentuk tubuh, penampilan, dan latar belakang ekonomi, suku, agama, dan ras.
Ejekan tidak hanya bisa menyebabkan korban tertekan dan depresi, tetapi juga berpotensi mendorong korban menutup diri dari lingkungan sekitar dan mengambil tindakan ekstrem, seperti mengakhiri hidup.
Pada tahun 2005, seorang siswi SD di Bekasi, Jawa Barat, bunuh diri akibat tertekan oleh ejekan terhadap keluarganya yang tidak mampu, dan kisah tragis ini terulang kembali pada tahun 2017 ketika seorang siswi SMA di Bangkinang, Riau, bunuh diri akibat tertekan oleh ejekan terhadap orang tuanya yang memiliki masalah psikis
Pada tahun lalu, seorang siswi SMK di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi dipaksa mencium kaki seorang siswa dari sekolah yang berbeda, dan seorang siswa SMP di Purworejo, Jawa Tengah, dihajar oleh kakak kelas dan teman sekelasnya hingga leher, pinggang, kaki, dan pinggangnya lebam.
Menurut laporan KPAI, jumlah anak yang menjadi korban kekerasan fisik meningkat dari 157 pada 2019 menjadi 249 pada 2020. Sedangkan jumlah korban kekerasan psikis mencapai 119 pada 2020, meningkat drastis dari 32 pada tahun sebelumnya.