Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jodhi Yudono
Wartawan dan budayawan

Menulis esai di media sejak tahun 1989. Kini, selain menulis berita dan kolom di kompas.com, kelahiran 16 Mei ini juga dikenal sebagai musisi yang menyanyikan puisi-puisi karya sendiri maupun karya penyair-penyair besar semacam WS Rendra, Chairil Anwar, Darmanto Jatman, dan lain-lain.

Zaman yang Mencemaskan

Kompas.com - 10/07/2017, 12:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorJodhi Yudono

Adakah hidup yang lebih mencemaskan dari zaman ini? Inilah zaman di mana peradaban berjalan sempoyongan, ke kiri dan ke kanan tanpa jelas tujuan. Perhatikanlah, kalau ke kanan mengapa tak pernah benar-benar sampai pada telaga kebenaran? Jika ke kiri juga tak pernah sampai pada kesimpulan persoalan. Jika lurus, mengapa juga tak pernah benar-benar fokus?

Jadi begitulah, zaman berjalan bagai segerombolan pemabok yang melangkah sambil meracau tentang apa saja yang melintas di hadapan. Kadang meracau tentang politik, budaya, sosial, ekonomi, sampai soal agama. Gerombolan itu bersahut-sahutan saling mencaci dan membenci, saling membuli dan meludahi.  

Mulut dan tangan mereka jadi ringan untuk bicara dan memukul. Mereka yang bicara dan bertindak tak sesuai dengan keinginan kelompok lainnya, segera menjadi bulan-bulanan melalui komentar hingga tindak kekerasan. Kepala dan hati mereka menjadi batu yang sulit menerima perbedaan dan susah memaafkan. Jika pun keduanya harus berurusan karena ada motif ekonomi atau kekuasaan di dalamnya, kepura-puraan adalah jurus andalan dan setelahnya mereka bisa kembali saling tikam.

Ya ya..zaman yang memcemaskan adalah ketika kita takut untuk berekspresi, sebab ancaman hukuman bagai moncong buaya yang siap memangsa kalau ada sekelompok orang yang tak berkenan dengan ekspresi kita. Zaman yang mencemaskan adalah ketika kita susah membedakan antara yang serius dan santai, guyonan atau beneran. Semua hal bisa "dimainkan" sesuai selera bahkan sesuai pesanan.

O ya...soal pesanan ini, tak cuma moda transportasi berbasis aplikasi yang bisa melakukannya. Sekarang bisnis pesanan juga sudah melibatkan orang per orang. Jika moda angkutan itu mengirimkan barang, maka yang terakhir itu mengirimkan pesan-pesan kebencian. Konon bisnis ini cukup menggiurkan sehingga mengundang kalangan intelektual yang seharusnya menjaga akal sehat, akhirnya tergoda untuk turut bermain di dalamnya dengan sebutan buzzer.

Buzzer juga disebut sebagai micro influencer, atau KOL (Key Opinion Leader). Mereka mampu mempengaruhi pikiran teman-teman dan pengikut-pengikutnya. Pada umumnya, buzzer ini memiliki 2-3 ribu orang pengikut dan bahkan bisa mencapai jutaan pengikut.

Keberadaan buzzer terasa benar ikut mewarnai kondisi bangsa ini, terutama sejak Pilpres 2014 hingga sekarang. Garis demarkasi antar dua kelompok pendukung calon presiden membentang begitu lebar dan dalam, sehingga terciptalah dengan apa yang disebut dengan sebutan pembenci "haters" dan pemuja "lovers".

Dua golongan ini menjadi sedemikian "beriman" terhadap pimpinan mereka atau panutan mereka beserta turunannya. Joko Widodo di satu sisi, dan Prabowo pada sisi lainnya. Joko Widodo sebagai representasi pihak penguasa, dan Prabowo sebagai pihak oposisi. Dua panutan itu boleh saja telah bertemu beberapa kali untuk berangkulan dan saling memahami melalui pernyataan, tapi pemuja dan pembenci mereka tetap saja memelihara perasaan cinta dan benci itu secara telaten dan sungguh-sungguh.

Maka tak heran kiranya, jika tak ada sesiapa pun yang bisa menghentikan kecintaan atau kebencian mereka. Tak juga cerdik cendekia, ulama, bahkan tokoh sekaliber apapun. Kebencian dan kecintaan mereka adalah batu granit yang sulit dipecahkan.

Tentu saja, bukan cuma buzzer yang membuat suasana negeri menjadi bara dalam sekam. Nyaris di semua  sektor kehidupan kita menjumpai gunjingan dan provokasi yang menjurus pada perpecahan. Pesan-pesan perdamaian yang dulu dibawa oleh kaum agamawan, tertinggal di kitab-kitab suci dan alpa disampaikan. Rumah-rumah ibadah yang dulu penuh dengan ajaran cinta dan kasih, belakangan dipenuhi ajaran kebencian kepada mereka yang tak sejalan. Dan media sosial, adalah ladang subur bagi berseminya permusuhan.

Pada titik ini, teringatlah saya pada cerita kawan-kawan saya di Aceh beberapa waktu lalu, saat saya roadshow menyanyikan puisi di beberapa kota di Aceh. Negeri Serambi Aceh itu pada dekade 90an hingga awal 2000, selalu diwarnai oleh intrik, fitnah, dan kebencian. Kecurigaan menghinggapi siapa saja, sehingga jika kita menumpang bus dari Takengon ke Medan, di sepanjang perjalanan suasana di dalam bus sedemikian tegang. "Tak ada yang bercakap atau bertegur sapa," kenang penyair Fikar yang asli Aceh kepada saya. Barulah ketika bus sudah sampai perbatasan Sumatera Utara, seluruh penumpang bus baru bisa bernapas lega dan bertegur sapa.

Sampai pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, pukul 00:58:53,  lempeng Hindia disubduksi oleh lempeng Burma dan menghasilkan serangkaian tsunami mematikan di pesisir sebagian besar daratan yang berbatasan dengan Samudra Hindia. Gelombang tsunami yang puncak tertingginya mencapai 30 meter (98 ft) ini menewaskan lebih dari 230.000 orang di 14 negara dan menenggelamkan banyak permukiman tepi pantai. Salah satu bencana alam paling mematikan sepanjang sejarah. Indonesia, khususnya wilayah Aceh, adalah negeri yang terkena dampak paling besar.

Bencana itu menghentikan peristiwa yang sedang berlangsung, termasuk permusuhan dan baku bunuh sesama saudara di Aceh. Aceh tiba-tiba hening, mereka yang masih hidup bertafakur, mereka yang pernah bermusuhan segera menyadarai kekeliruan, mereka berhadap-hadapan dalam kesedihan dan kepedihan yang sangat.

Demikianlah, Tuhan melalui alam semesta punya cara sendiri untuk mengembalikan tata kehidupan sesuai kehendakNya, ketika manusia sebagai pemimpin di muka bumi ini sudah berbuat berlebihan.

Semoga saja, zaman yang mencemaskan ini segera berlalu dan tidak pernah sampai pada titik kulminasi. Masing-masing pihak segera menyadari, betapa sesungguhnya kita adalah saudara sebangsa dan setanah-air. Sebab demikianlah yang diajarkan semua agama. Engkau adalah aku dan aku adalah engkau, begitulah kawan dari Bali mengajarkan kepada saya.

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com