“William Shakespeare meraih puncak sukses dalam puisi modern awal, karena ia penyair yang memadukan keindahan dan keburukan seperti realita di alam semesta. Kecantikan lumrahnya tak menampik kejelekan” (Umberto Eco, On Ugliness, 2007).
KUTIPAN dari Umberto Eco, pemikir kebudayaan dari Italia di atas adalah sebuah pernyataan yang esensial tentang seni dan hidup. Manusia memang ditakdirkan ringkih, jauh dari sempurna.
Kecantikan juga tak abadi, waktu dan perilakulah yang memudarkan. Seni berabad-abad memeluk erat keburukan dengan pertunjukan-pertunjukan drama, lukisan-lukisan, teks-teks sastra provokatif agar kita tak pongah, sebab manusia acapkali lengah.
Karya seni menjadi lahan kontradiktif sekaligus kontemplatif, membincangkan hidup yang menyimpan kerapuhan-kerapuhan, seperti: tragedi, kebinasaan, kekerasan, teror, keputus-asaan. Namun ia merayap, menyibak harap yang ditambatkan justru dari penggambaran peristiwa memilukan.
Eco menceritakan dari awal hingga akhir, laiknya sebuah leksikon. Tiap-tiap zaman, ribuan tahun terlewat bagaimana sejarah seni ditampilkan dalam narasi, visualisasi atau penggambaran makna-makna yang buruk, tentu dengan argumen-argumen mencerahkan dari tiap era.
Baca juga: Ketika Desain Sekolah Perbatasan Indonesia Menembus Publik Venesia Italia
Eco mengutipnya dari kata-kata dan karya-karya para novelis, penulis, penyair, pelukis, filsuf dll dalam bukunya On Ugliness tersebut.
Demikian pula di karya lukisan milik Kukuh Nuswantoro dalam ilustrasi lukisan di awal tulisan ini. Kukuh menggambarkan sebuah peristiwa tragik dengan visualisasi kengerian-kengerian.
Sekumpulan figur-figur menyerupai manusia tengah berkerumun dalam keganjilan. Ekspresi-ekspresi mukanya, sosok-sosoknya menyiratkan kesedihan, kemuraman, angkara murka dengan goresan-goresan perih yang ekspresif, dikelilingi bangunan-bangunan ilustratif menjulang yang nampak lamat-lamat tergambar di latar belakang.
“Peradaban modern melahirkan orang-orang cerdas menguasai dunia. Apa saja bisa diciptakan dengan teknologi terkini, dan nilai-nilai kemanusiaaan telah dikesampingkan. Politik dan uang memaksa nafsu jahat, menjadi tak terkendali dan di sanalah perang total dimulai,” ujarnya.
Namun, jika kita jeli, Kukuh memberi penanda harap, meski ia secara keseluruhan mempresentasikan kondisi yang skeptis. Masih di latar lukisannya, yang menampak warna kebiruan, ada sosok berpelukan, keinginan Kukuh menguatkan jiwa.
Ia meyelipkan pesan dengan dua makhluk tersebut dari kerumunan figur-figur lain yang mengguratkan kejelekan. Dua sosok itu, bisa jadi sebuah lantunan doa harapan untuk masa depan.
Farhan Siki & Keburukan Rupa Urban
Dua bulan berjalan, Mei dan Juni 2018 tergelar dua event pameran yang cukup menarik untuk disimak. Yang pertama adalah pameran solo perupa Farhan Siki, yang mengeksplorasi seni dan kondisi urban yang digelar di Galeri Kertas, Studio Hanafi, Jakarta Selatan.
Ia menggoda kita, menerbangkan imaji-imaji abstraktif bentuk-bentuk aneh dalam torehan-torehan di kertas-kertas, teks-teks huruf dan angka, sampai instalasi kubus-kubus putih yang dikatakannya sebagai simbol bahwa kesempurnaan kemasan adalah sesuatu paling didamba pada abad ini. Terutama perumpamaan bagi produsen objek-objek konsumsi yang dipasarkan demi mengompori hasrat.