Visualisasi saling tindih membuat pengunjung memaksa imajinasinya terbang liar ke tataran entitas antah berantah dan di sanalah apresian menemukan kemerdekaan sepenuhnya menginterpretasi seni.
Hal yang menyentuh adalah tatkala karya lukisan yang bertutur sosok Stephen Hawking, fisikawan masyhur itu. Dengan elok, Hanafi dan Goenawan Muhammad menghiperbolikkan kecacatan fisik sang tokoh dengan menyusun beberapa kursi roda di depan lukisan yang berjudul Waktu dan Stephen Hawking, 250x 350cm dan instalasi kursi roda (2018) itu dengan penataan tertentu.
Seolah Hawking di sana sedang berdialog dengan sejumlah penderita cacat fisik seperti dia. Atau, jangan-jangan Hawking sedang berdialog dengan dirinya yang lain? Bagaimana pun, suasana terlihat chaos, selain kursi roda, juga pipa-pipa yang saling menghalangi, bertumpuk, tetapi sekaligus mengungkap keharuan yang intim.
Tentang ingatan kolektif kita pada diri Hawking dengan segala keterbatasannya sebagai manusia plus cacat fisiknya. Di sana, karya seni, dengan ruang-ruang fisik maupun imajiner yang sengkarut tadi, menafsirkan Hawking secara kontradiktif sekaligus kontemplatif.
Sosok Hawking menyibak anugerah, ia memberi sumbangsih begitu besar pada peradaban ilmu pengetahuan justru dalam fisik cacatnya. Alhasil, karya-karya instalasi dan lukisan itu, menawarkan dua sisi mata koin: pencerahan yang dijangkarkan di dermaga keburukan-keburukan rupa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.