Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Seni Buruk Rupa yang Mencerahkan

Kompas.com - 26/06/2018, 21:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Farhan hendak menggiring kita tentang ironi di sana. Keindahan, kecantikan, idealisasi atau kesempurnaan adalah impian-impian. Ia perwujudan mesin libido manusia untuk tidak mengatakan cukup, tak menerima apa yang kita butuh, tapi meledakkan keinginan-keinginan.

Farhan dengan karyanya mencoba mengingatkan, bahwa separuh hidup kita adalah kegagalan demi kegagalan mengejar itu.

Baca juga: Menafsir Fiksi, Menakar Spiritualisme

Seperti katanya dalam wawancara dengan penulis, “Angka-angka dan huruf yang tertera di lukisan-lukisan itu, instalasi juga, adalah barcode bagi hasrat ketidaksadaran kita. Semuanya semu, yang diukur seberapa banyak kita menghamburkan uang mengonsumsi sesuatu. Logo-logo yang menghipnotis, dan kita adalah wajah-wajah dahaga tentangnya. Tanpa kuasa menolaknya, kita putus asa namun itu indah,” ujarnya.

Dari karyanya Urban Rupture (2018), sungguh kita menyaksikannya, keburukan-keburukan visual itu terhampar jelas. Tumpuk-menumpuk, corat-coret kata-kata dan imej-imej seperti desire, mythos, hello rich people, kemudian sosok-sosok berteriak beringas dalam aura gelap seperti lukisan Edvard Munch, Der Schrei der Natur (1893), teks-teks seperti eat fresh sampai plesetan dalam bahasa Jawa-Inggris, art e mukiyo, yang kita kesulitan memahami arti dan makna stabilnya.

Di kota besar segalanya menjadi tiba-tiba retak bahkan patah oleh hasrat.


Hanafi-Goenawan dan Ruang Sengkarut

Yang ke-2, di akhir bulan Juni, kita dikejutkan dengan pameran kolaborasi dua jawara yang mengagumkan. Satu perupa dan yang lain penyair.

Bukan latar belakang profesi berbeda yang menarik, karena mereka berdua terbiasa bekerja lintas media dan disiplin keilmuan seni. Tapi, hasil kolaborasi mereka telah membangun sebuah dialog yang bisa mengonstruksi ruang-ruang baru yang bisa dimaknai apapun, mungkin paling tepat: ruang sengkarut yang indah.

Tema-tema dan lukisan-lukisan awal digagas Hanafi yang dikatakan sebagai “ruang”; yang kemudian dikirimkan untuk direspons oleh “ruang lain” tempat bagi goresan atau torehan-torehan Goenawan Muhammad yang dinarasikan oleh Hanafi sebagai tokoh-tokoh kanon dari seni Barat seperti Ernst, Picasso atau Tapies adalah biasa.

Atau saling tindih garis, imej, sampai warna di antara mereka yang membuka makna baru. Semuanya kewajaran belaka dalam kerja-kerja kolaboratif, yang biasa dilakukan di antara dua, tiga, bahkan puluhan perupa, penyair, desainer, penari, animator, fotografer, atau arsitek yang dilakukan generasi-generasi lebih muda para era 2000-an.

Yang menjadi luar biasa adalah bagaimana ruang fisik di Galeri Nasional Indonesia memberi mereka kesempatan mengeksplorasi energi visual sebebas-bebasnya. Jauh menerabas; dari sekadar lukisan-lukisan yang terpasung dalam bentuk dwi matra.

Dari “ruang-ruang ide” awal, “ruang-ruang” yang termanifestasi di lukisan-lukisan kolaboratif itu, berlanjut terus, menimbulkan tafsiran-tafsiran anyar. Yang terpenting kegilaan mereka menciptakan spasial fisik merangsang pengunjung mendapatkan “ruang di dalam ruang” dalam imajinasi mereka sendiri.

Ruang fisik bersengkarut, tindih menindih, timpa menimpa dipertajam lagi tatkala spasial fisik pembatas antar ruang tertentu pada dinding galeri dipersulit bagi pengunjung untuk mengaksesnya.

Lukisan-lukisan disusun sedemikian rupa, agar tak nyaman untuk dilihat. Maka, di sana makin sengkarut auranya, tak tertib sama sekali sekaligus buruk, namun sekali lagi: penjelajahan estetis nan indah.

Kondisi ruang sepertinya segugus karya-karya instalasi yang membangun sebuah seni pertunjukan, berderak pun berteriak. Mereka berdua menggunakan strategi mengacau ruang, mempermainkan bentuk dan komposisi, mendistorsi idealisasi display lukisan dalam mengapresiasi, mendekonstruksi pengertian-pengertian yang ajeg tentang ruang.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau