JAKARTA, KOMPAS.com -- Setiap orang punya sejarah hidup. Sejarah itu bisa pahit dan suram sehingga membuat pelakunya terbelenggu.
Film Ziarah mengajak penonton untuk mampu berdamai dengan masa lalu sehingga bisa melanjutkan hidup dan menikmatinya dengan bahagia.
Sutradara film BW Purwa Negara sejak awal mewanti-wanti calon penonton bahwa film ini tidak menjanjikan yang muluk-muluk.
Tidak ada daftar pemeran terkenal dengan wajah cantik dan tampan. Tidak terlihat panorama alam menakjubkan, apalagi lokasi shooting di luar negeri.
"Kalau sinema adalah hidangan, Ziarah bukan piza atau burger. Lebih tepat seperti singkong atau tempe. Kalau film adalah kendaraan, Ziarah bukan Ferrari tetapi sado. Ziarah dibuat dengan segala kesederhanaan, tetapi dengan harapan dapat memberi makna," kata BW Purwa Negara yang juga menulis naskah film ini seusai pemutaran Ziarah pada Plaza Indonesia Film Festival pekan lalu.
Ziarah bercerita tentang perjalanan Mbah Sri (Ponco Sutiyem) yang mencari makam asli mendiang suaminya, Prawiro.
Padahal, selama ini ia memercayai sebuah gundukan tanah dengan bambu runcing berbendera Merah Putih di atasnya adalah makam sang suami.
Sampai kemudian ia bertemu seorang tentara veteran yang bercerita tentang kisah akhir hidup Prawiro dan tempat ia dimakamkan.
Meski sudah berusia 95 tahun, berbekal keinginan kuat untuk membuktikan sendiri cerita yang didengarnya, Mbah Sri melacak keberadaan makam Prawiro dari sepotong informasi yang sangat minim.
Berjalan terbungkuk, Mbah Sri naik turun angkutan umum atau berjalan kaki melewati lembah dan bukit, bahkan menyeberangi sungai.
Semua ia lakukan seorang diri karena pergi tanpa pamit sehingga menyisakan kekhawatiran pada Prapto (Rukman Rosadi), cucu yang selama ini merawatnya.
Perempuan tua yang sehari-hari berkain dan berkebaya itu harus menemui banyak orang, kebanyakan adalah teman-teman suaminya semasa perjuangan dulu, untuk mengumpulkan informasi sedikit demi sedikit.
Ia bagaikan seorang peneliti atau jurnalis yang mengumpulkan remah-remah informasi untuk merekonstruksi sebuah cerita yang lebih besar.
Tidak jarang, informasi yang diperolehnya bertentangan atau simpang siur. Bahkan, Mbah Sri harus menerima kenyataan banyak hal baru tentang suaminya yang baru ia dengar saat itu.
Maklum, kenangan terakhir hanyalah ketika sang suami pamit pergi bertempur dan memintanya ikhlas jika ia tidak kembali karena berarti telah gugur di medan perang.