Menahan pedih
Mbah Sri harus menahan kepedihan mendengar akhir tragis hidup sang suami yang mati ditembak Belanda.
Di lain waktu, kesetiaannya yang ditandai dengan tidak menikah lagi harus dibalas dengan kabar bahwa sang suami sempat menikah lagi.
Perjalanan Mbah Sri mencari makam sang suami sejatinya bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan ia menziarahi sejarah kehidupannya dan sang suami.
Perjalanan yang juga kemudian ditempuh sang cucu, Prapto. Permasalahan yang ditemui di jalan paralel dengan konflik Prapto yang sering berselisih dengan calon istrinya.
Sejarah kehidupan Mbah Sri dan Prawiro terkadang beririsan dengan sejarah yang lebih luas, seperti peristiwa 1965 dan pembangunan Waduk Kedung Ombo.
Namun, hal ini hanya disinggung sepintas melalui narasi orang-orang yang terlibat langsung melalui pertemuan dengan Mbah Sri dan Prapto.
"Saya sengaja menyajikan sejarah yang punya banyak versi atau simpang siur. Saya merasa penting membawa gagasan bahwa kita perlu berdamai dengan masa lalu," kata Bewe, panggilan BW Purwa Negara.
Ide cerita ini, menurut Bewe, muncul berdasarkan pengalamannya saat menjadi relawan saat tsunami Aceh.
Meski berat, para penyintas mampu bertahan karena bisa berdamai dengan peristiwa itu.
Di lain waktu, ia juga bertemu banyak orang yang tenggelam dalam hampir keputusasaan setelah mengalami peristiwa tragis.
Film ini banyak dibintangi orang-orang yang sebelumnya sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan dunia akting.
Bewe dan tim mendekati mereka dengan memosisikan diri sebagai anak atau cucu, misalnya terhadap Ponco Sutiyem yang umur aslinya memang 95 tahun.
Kedekatan yang terbangun terlihat, misalnya saat Parto memijiti kaki Mbah Sri dalam suasana yang natural.
"Saya memasrahkan diri sebagai cucunya Mbah Ponco. Begitu juga pemeran lain. Kami mendengarkan dulu cerita-cerita mereka ini yang kebanyakan orang-orang tua. Setelah itu mereka lebih rileks," kata Rukman Rosadi, yang sehari-hari sebagai pelatih akting.
Menurut Bewe, dialog pemeran tetap berpatokan pada skenario dalam percakapan yang tidak sepenuhnya harus sama dengan naskah.