Wajah lelaki yang tengah bertamu itu mengernyit, melihat daun pintu unit apartemen itu tak terkunci. Perlahan ia membukanya. Si tamu memasuki unit apartemen itu, berhadapan dengan ruang tamu yang kosong. Ia melihat sepucuk pistol yang tergeletak di lantai. Ditatapnya pintu kamar tidur tuan rumah yang tertutup rapat. Si lelaki melangkah, membuka pintu itu. Yang dicari sudah terbujur kaku di lantai kamar.
Belum lagi si tamu sial sadar apa yang terjadi, beberapa orang memasuki unit apartemen itu. "Polisi! Jangan bergerak!" bentak Inspektur Satu Astri menodongkan pistolnya.
Si lelaki menoleh, menunjukkan wajah yang membuat Astri tertegun. ”Pak Bagas?”
Ya, lelaki yang tertangkap tangan bersama mayat orang yang ditamuinya adalah Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy), kandidat presiden dalam Pemilihan Umum 2014. Kandidat presiden yang selalu unggul dalam seluruh jajak pendapat itu menjadi tersangka pembunuhan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Ramadhan Hasyim, si tuan rumah.
Tangkas
Duet sutradara Rahabi Mandra dan Hanung Bramantyo tangkas menggelindingkan kisah konspirasi politik berlatar Pemilihan Umum 2014 itu. Adegan penangkapan Bagas muncul setelah sembilan setengah menit yang cepat menuturkan latar belakang para tokoh utama 2014 – Siapa di Atas Presiden.
Ada tiga kandidat dalam kontestasi politik 2014 di film itu. Faisal Abdul Hamid (Rudy Salam), politisi yang pintar bicara, santun, dengan lagak seperti seorang konservatif. Ada lagi Syamsul Triadi (Akri Patrio), kandidat presiden yang meledak-ledak, dengan pernyataan politik penuh dalil agama.
Namun, kandidat terkuat yang merebut hati rakyat adalah Bagas Notolegowo, seorang politikus yang lugas, bahkan kerap melontarkan sinisme atas dunia politik. Bagas yang berujar "Kalau saya tidak menang, berarti Indonesia sudah kalah!"
Sembilan setengah menit awal juga berkisah tentang Bagas sebagai seorang ayah yang terlalu sibuk mengurus politik, jauh dari anak-anaknya. Anak Bagas, Ricky Bagaskoro (Rizky Nazar), menjadi muak dengan urusan politik, apatis, bahkan tak memercayai kebebasan berpendapat sebagai oksigen demokrasi.
Di tengah keputus-asaannya, Ricky menemukan sosok Krishna Dorojatun, seorang legenda dunia bantuan hukum di Indonesia. Krishna seorang advokat spesialis pro bono, hanya beracara tanpa bayaran untuk membela orang papa. Ricky tahu ayahnya masuk penjara karena dijebak permainan kotor elite politik. Ricky tahu hanya advokat sekelas Krishna Dorojatun yang bakal punya nyali untuk mengungkap kebenaran dalam kasus pembunuhan yang melibatkan Bagas.
Krishna yang enggan akhirnya melunak melihat kegigihan Ricky, lalu menguji watak baik Ricky dengan sejumlah pertanyaan berbau filsafat anomali keadilan dan kepastian hukum. Krishna menemui Bagas, bicara panjang soal visi Bagas tentang Indonesia, menimbang pantas tidaknya Bagas mendapat pembelaan darinya. Kualitas langka dari dunia advokat Indonesia hari ini.
Menegangkan
Tenang, film produksi Mahaka Pictures dan Dapur Film itu tidak melulu berisi adegan Krishna mengaumkan keadilan di pengadilan. Publik sejak awal meragukan keterlibatan Bagas dalam kasus pembunuhan itu sehingga Bagas tetap merajai berbagai jajak pendapat. Dalang konspirasi mencari cara membunuh Bagas di penjara, menghasilkan adegan duel antara polisi dan Satria (Rio Dewanto) si pembunuh bayaran.
Adegan laga dalam film ini seru tetapi tak berlebih sehingga menjadi bumbu yang pas. Tak hanya laga, aksi kejar-kejaran di jalanan juga menjadi bumbu lain film yang sebenarnya diproduksi pada 2012 itu. Skenario garapan sutradara Rahabi Mandra dan Ben Sihombing tak bertele-tele, ditebari bumbu, tetapi tak membuat bumbu menjadi sajian utama.
Film itu berani bertumpu kepada ketegangan alur cerita di antara kerumitan kontestasi Pemilihan Umum 2014, konspirasi menjegal Bagas, dan persidangan sebuah kasus pembunuhan. Layaknya film Hollywood, penonton pasti menerka sang protagonis bakal menang, tetapi penasaran bagaimana Bagas, Krishna, Ricky, Laras, dan Inspektur Satu Astri berjaya.
Sayangnya, satu-dua rinci kecil film ini mengganggu nalar. Adegan persidangan kasus Bagas, misalnya, disuguhkan dramatis bak sebuah persidangan ala sistem peradilan common law di negara-negara persemakmuran Inggris Raya.
Dramatisasi alur kisah yang digentingkan dengan hitung-mundur hari pemungutan suara juga tak dipahami akal. Lazimkah seorang kandidat presiden bepergian seorang diri—sekitar 60 hari sebelum pemungutan suara—demi bertamu ke kawan lamanya?
Jika Bagas belum dikawal ketika tertangkap tangan satu ruangan dengan mayat korban pembunuhan, lalu langsung dibui, kapan ia ditetapkan menjadi calon presiden? Jika ia sudah ditetapkan menjadi calon presiden, kenapa ia tidak dikawal sebagaimana aturan pengawalan seorang kandidat presiden? Selalu, the devil is in the detail!
Lepas dari itu, film yang mulai diputar di bioskop pada 26 Februari ini terbukti meraih kehormatan menjadi film pertama yang resmi diputar dalam Osaka Asian Film Festival 2013. Akhirnya, sineas kita bermain dengan peristiwa politik yang kini dan memberi warna lain bagi dunia film Indonesia.
Judul nakalnya juga menggelitikkan pertanyaan "siapa di atas presiden?" Apakah sang dalang konspirasi yang sepanjang film itu hanya muncul sebagai suara berat dan gerak jari-jari tangan bercincin khas? Ataukah rakyat dan konstitusi, sebagaimana yang dulu dijanjikannya ketika berkampanye? (Aryo Wisanggeni G)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.