Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jodhi Yudono
Wartawan dan budayawan

Menulis esai di media sejak tahun 1989. Kini, selain menulis berita dan kolom di kompas.com, kelahiran 16 Mei ini juga dikenal sebagai musisi yang menyanyikan puisi-puisi karya sendiri maupun karya penyair-penyair besar semacam WS Rendra, Chairil Anwar, Darmanto Jatman, dan lain-lain.

Saya Pancasila, Kamu?

Kompas.com - 01/06/2017, 13:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorJodhi Yudono

Tentu saja agar kita tak sesat dan menjadi bangsa abal-abal. Kita diharapkan menjadi bangsa yang berketuhanan, bangsa yang welas asih dan menghargai kemanusiaan, bangsa yang bersatu dan tidak tercerai-berai, bangsa yang demokratis, dan bangsa yang berkeadilan.

Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Presiden pertama RI itu berucap: "Kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa--namanya ialah Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi."

Siapapun, termasuk kita, boleh mendakwa bahwa Pancasila bukanlah murni pemikiran Bung Karno. Pancasila hanyalah hasil otak-atik otak dari nilai-nilai hidup bangsa lain.

Apa boleh buat, sebagai hasil buah pikir, tentu Bung Karno tak bebas nilai. Karena pergaulannya yang luas, bisa saja Bung Karno terpengaruh oleh ide atau faham lain orang.

Umpamanya, buah pikiran Bung Karno di dalam Pancasila itu, mirip dengan asas negara Republik China yang dikemukakan oleh Dr Sun yat Sen.

Pancasila juga tak beda dengan asas Aquinaldo pimpinan nasionalis Filipina, juga empat asas Pridi Banoyong dari Thailand (1932 M): Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme, Religius.

Juga asas dari Pandit Jawarhal Nehru tentang dasar negara India merdeka, yang dibahas di depan Indian Kongres: Panc Svila yang meliputi: Nasionalisme, Humanisme, Demokrasi, Religius, Sosialisme.

Tapi sebentar, jauh sebelum bangsa-bangsa lain memiliki asas yang mirip-mirip Pancasila itu, konon, bangsa ini sudah memiliki sebutan Pancasila.

Sebagian orang meyakini, bahwa Pancasila yang kini menjadi dasar dan falsafah negara, pandangan hidup, dan jiwa bangsa merupakan produk kebudayaan bangsa Indonesia yang telah menjadi sistem nilai selama berabad-abad lamanya.

Pancasila bukanlah merupakan sublimasi atau penarikan ke atas (hogere optrekking) dari Declaration of Independence (Amerika Serikat), Manifesto Komunis, atau paham lain yang ada di dunia.

Pancasila tidak bersumber dari berbagai paham tersebut, meskipun diakui bahwa terbentuknya dasar negara Pancasila memang menghadapi pengaruh ideologi pada masa itu.

Istilah “Pancasila” pertama kali dapat ditemukan dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular yang ditulis pada Zaman Majapahit (Abad 14).

Dalam buku tersebut, istilah Pancasila diartikan sebagai lima perintah kesusilaan (Pancasila Krama), yang berisi lima larangan sebagai berikut:
a. Melakukan kekerasan
b. Mencuri
c. Berjiwa dengki
d. Berbohong
e. Mabuk akibat minuman keras

***
Sebetulnya tak soal, apakah Pancasila itu mirip atau bahkan sama dengan falsafah hidup bangsa lain atau tidak. Yang jadi soal adalah, ketika Pancasila tak menjadi apa-apa dalam hidup kita.

Yang jadi soal adalah ketika Pancasila malah menjadi bibit sengketa antar-anak bangsa. Yang satu bilang sejak kapan kamu pancasialis, sedangkan hidupmu jauh dari norma-norma Pancasila.

Ada lagi yang menuduh kelompok pemasang gambar "Saya Indonesia Saya Pancasila", sebagai mualaf Pancasila. Hadeeeh... kapan kita berhenti sejenak berbalas pantun begini? @JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com