Dini hari, seusai makan sahur, kami pun berbincang di meja makan. Kepada saya, Idris bercerita mengenai perjalanan hidupnya yang getir. Di antara ceritanya itu, terselip juga pernyataan-pernyataannya yang kadang mengejutkan. Tiba-tiba, dia bilang begini, "Saya ini pendosa".
Saya pun bertanya keheranan dengan pandang mata saya.
Tanpa saya minta, Idris pun menjelaskan. Katanya, dirinya yang diberi karunia yang sedemikian besar dalam bermain biola, sejak tahun 1958 sudah tidak berlatih lagi. "Harusnya saya bersyukur diberi kemampuan menggesek biola dengan latihan minimal sejam sehari. Tapi itu tidak saya lakukan," ujar Idris.
Anehnya, tambah Idris, dirinya tidak kehilangan kemampuan menggerakkan jari-jarinya, bahkan untuk tempo-tempo cepat yang di luar nalar.
"Makanya, saya percaya betul bahwa yang memainkan biola itu bukan saya, tapi malaikat," tutur Idris seraya mengatakan bahwa tiap kali hendak memainkan biola hanya ada dua hal yang dipikirkan. "Saya bermain biola hanya untuk dua hal. Yang pertama untuk Tuhan, dan yang kedua untuk Indonesia."
Indonesia, bagi Idris, adalah darahnya. Dia boleh saja belajar musik klasik sampai menjadi kampiun, tetapi jiwanya tetap Indonesia, rasa musiknya tetap Indonesia.
Kini, tidak akan ada lagi perjumpaan dengan dia yang saya panggil Mas Idris. Idris Sardi lahir di Batavia, Hindia Belanda, pada 7 Juni 1938. Sulung dari delapan bersaudara ini terakhir melakukan konser pada 16 Desember 2013 bertajuk "Konser Tunggal Maestro Biola Idris Sardi".
Selamat jalan, Mas Idris. Selamat menikmati kesempurnaan konser sebagai penggenap hidupmu.
@Jodhi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.