Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Tengkorak": Eksperimen Film Fiksi Sains

Kompas.com - 05/02/2017, 23:52 WIB

"Dua setengah tahun kami membuat film ini. Di samping menginginkan kematangan dalam penggarapan sinematografi dan konten film ini digarap secara swadaya yang selalu menunggu perolehan dana," ujarnya.

Untuk pembuatan film itu, Yusron harus merelakan gajinya selama satu setengah tahun.

Dukungan dari sponsor yang sekali-kali diperoleh bisa menjadi penyambung penggarapan film ini, termasuk sewa peralatan biaya film ini. Kemungkinan telah menelan biaya lebih dari Rp 1 miliar.

"Untung saja peralatan kami banyak dibantu Sekolah Vokasi UGM. Bantuan mahasiswa juga banyak menolong proses pembuatan film ini. Karena itu, boleh dibilang film ini digarap dosen dan mahasiswa Sekolah Vokasi UGM," kata Yusron.

Film itu ditargetkan menjadi film yang menyuguhkan tawaran alternatif tontonan kepada masyarakat, khususnya penikmat film Indonesia.

Selain itu, Yusron juga berharap film ini dapat menunjukkan kepada dunia bahwa negara kita Indonesia telah mampu menciptakan film fiksi sains dengan isu relevan.

Dalam pengertian itu, Yusron sengaja ingin memberi tawaran sekaligus menantang, "Beranikah dunia perfilman Indonesia menciptakan film yang berpijak pada fiksi sains," katanya.

Mencipta karya film semacam ini memang bukanlah persoalan gampang. Sumber daya orang film dengan kedalaman intelektualnya merupakan tantangan sendiri.

Ketergantungan orang- orang film pada dana juga merupakan pergulatan tersendiri dalam penciptaan film-film alternatif. Pada akhirnya adalah bagaimana membangun idealisme orang-orang film.

Menikmati
Realitasnya, sebagian penduduk Indonesia menikmati film dengan genre fiksi sains meskipun negara kita tidak banyak memproduksi film ini.

Ketika masyarakat beranggapan fiksi sains hanya seputar alien, laser, atau robot, ada beberapa karya terbaik bergenre fiksi sains yang mengangkat tema mengenai kemanusiaan atau tabiat manusia ketika menghadapi teknologi.

Film Star Wars, misalnya, tidak melulu membuat cerita tentang robot, alien, dan angkasa, tetapi juga mengenai kehidupan seorang samurai.

Begitu juga dengan film Districs 9 yang membahas sistem pemisah atau diskriminasi atas dasar ras.

Akhirnya, hanya persoalan keberanian, bagaimana edukasi sains itu mampu tertransformasikan dalam jagat film nasional.

Ini terpulang pada kemampuan kalangan film Indonesia bagaimana membangun intelektualitasnya menyerap segala ilmu pengetahuan, di balik pengetahuannya tentang sinematografi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com