Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jodhi Yudono
Wartawan dan budayawan

Menulis esai di media sejak tahun 1989. Kini, selain menulis berita dan kolom di kompas.com, kelahiran 16 Mei ini juga dikenal sebagai musisi yang menyanyikan puisi-puisi karya sendiri maupun karya penyair-penyair besar semacam WS Rendra, Chairil Anwar, Darmanto Jatman, dan lain-lain.

Selamat Jalan Cak Leo!

Kompas.com - 21/05/2017, 10:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorKistyarini

Pagi ini, Minggu 21 Mei 2017, saat Singapura muram oleh mendung, saya beroleh kabar duka dari Indonesia; Leo Kristi meninggal dunia.

Inalilahi wa inailaihi roji'un, semoga Tuhan Yang Kasih memberinya tempat yang indah bagi Leo, Leo Imam Soekarno ya Leo Kristi, penyanyi balada terdepan yang pernah dimiliki Indonesia yang meninggal dalam usia 67 setelah dirawat beberapa hari di RS Emanuel Bandung akibat dehidrasi akut awalnya.

Mengenangkan Leo adalah mengenangkan pribadi yang unik. Pribadi yang sulit dipahami bahkan oleh kawan-kawan dekatnya sekalipun.

Pernah suatu kali almarhum Franky Sahilatua bercerita kepada saya, betapa jadwal shooting video klip yang telah ditentukan bersama Leo harus mundur sehari, karena Leo lupa pernah membuat janji untuk pekerjaan yang akan menentukan karier dia sebagai musisi.

Pernah juga kawan Endi Aras dan saya membuat konser berjudul "Naga Banda" buat Leo di Gedung Kesenian pada awal 90an, tapi konser belum terlaksana, honor pun sudah habis dimintanya.

Pada waktu yang lain, kami yang menyaksikan pertunjukan Leo di Bentara Budaya pun harus menelan kecewa lantaran sepanjang pertunjukan Leo lebih banyak bercerita ketimbang bernyanyi.

Dan terakhir, saat dirinya konser kembali di Bentara Budaya akhir tahun 2016, kami, penonton Leo, dibuatnya senyum-senyum... karena berkali-kali Leo pamit mau menyudahi pertunjukan, berkali-kali itu pula Leo memperpanjang waktu pementasan hingga dua jam lamanya.

Tapi kami, kawan-kawan dan penggemarnya cuma bisa tersenyum kecut tanpa bisa marah kepadanya. Kami maklum dengan semua kemanjaan-kemanjaan Leo, kegenitannya dan juga tingkah lakunya.

Kami lebih suka menghibur diri, bahwa semua yang dilakukan Leo adalah bagian  dari pertunjukannya di kehidupan sehari-hari.

Saya mengenal Leo di bulan Agusgus 1990, saat Leo shooting di TVRI untuk acara 17-an. Sebagai wartawan baru, saya sangat bangga saat ditugasi mewawancarinya. Semua hal mengenai Leo saya pelajari, agar wawancara lancar.

Dengan hati berdegup kencang, karena mau ketemu musisi pujaan, saya pun berangkat ke TVRI dari kantor saya di Tabloid Citra Musik, Jalan Palmerah Barat, Jakarta.

Kami pun berkenalan. Leo kala itu didampingi oleh penyanyi Cecilia (saat itu masih SMP). Mereka seperti biasanya, tiap menjelang hari ulang tahun negeri ini selalu diminta TVRI untuk menyanyikan lagu-lagu patriotik seperti "Nyanyian Tanah Merdeka", "Soedirman", dan lain-lain.

Saya kira, bukan karena judul-judul lagu itu yang membuat TVRI selalu mengundangnya untuk merayakan 17-an, melainkan cara Leo  bernyanyi itulah yang membuat pendengarnya tergugah semangatnya.

Bagi saya, cara Leo bernyanyi memang beda dengan kebanyakan penyanyi yang kita miliki. Leo  bernyanyi dengan seluruh jiwa raganya.

Itulah sebabnya, dia tidak pernah hanyut oleh penonton, tapi dialah yang menghanyutkan  penonton pada samudera raya nyanyiannya, ekspresinya, dan tentu saja syair yang dibawakannya.

Mengimani profesi itulah intinya. Sehingga apapun yang dia lakukan  di panggung selalu menggetarkan penikmatnya.

 

Oleh totalitasnya itu, penonton tidak peduli lagi dengan tempo lagu dan kerapihan bunyi yang dia tampilkan. Penonton hanya merasakan, bahwa mereka sedang berhadapan dengan sejarah panjang musisi sekaligus penyanyi yang setia dengan pilihan musiknya yang sunyi dari industri yang ingar bingar.

Penonton hanya ingin mencecap gelombang spirit Leo dari cabikan gitarnya, lengkingannya yang kadang lirih kadang menggelegar, matanya yang kadang lembut kadang tajam, juga cintanya yang bening pada bangsa dan ini negeri ini yang terpancar lewat syair-syair lagunya.

Saat kami berhadap-hadapan untuk wawancara, baik di rumah Puntadewa tempat Leo tinggal di Pondok Labu, maupun saat kami melanjutkan obrolan di Taman Ismail Marzuki, barulah saya menyesal, kenapa menghabiskan waktu sedemikian banyak untuk membaca referensi mengenai Leo. Sebab di hadapan saya waktu itu, Leo ternyata bukan penutur yang baik. Kalimat yang muncul dari Leo dia awali dengan, "eeee...piye yo...anu.. Dan diakhiri dengan tawa.

Begitulah, wawancara yang berlangsung berjam-jam dan dilakukan di beberapa tempat ternyata hanya menghasilkan tak lebih dari satu halaman catatan di lembar tabloid. Untuk memenuhi beberapa halaman lainnya kami punya siasat, yakni dengan memajang foto Leo dalam ukuran besar-besar.

Sehabis pertemuan itu, saya masih bertemu beberapa kali di Jakarta dan di Bali. Leo tetap seperti sedia kala saat saya mengenalnya. Langsing, bercelana dan berkaos hitam ketat, kadang bertopi, rapi, dan masih dengan suara yang romantis.

Terus terang, belakangan saya agak sebal dengan Leo. Karena tidak ada lagi karya-karya hebat yang lahir setelah pertemuan itu. Pertunjukan Leo lebih banyak digelar untuk kebutuhan kangen-kangenan, sehingga yang dia nyanyikan adalah lagu itu itu saja.

Bahkan di banyak konsernya, para pemujanyalah yang aktif menimpali nyanyiannya. LKers, adalah nama persatuan fans Leo yang kerap mengundangnya konser. Terakhir, beberapa hari sebelum kepergian Leo, L'Kers menyelenggarakan acara penggalangan dana untuk Leo.

Kini Leo sudah pergi, membawa serta mimpi-mimpinya yang ingin mendokumentasikan khasanah lagu-lagu rakyat Idonesia ke dalam komposisinya.

Ya ya...Leo memang telah pergi, tapi karya-karyanya masih tinggal di sini, bersama bangsa ini hingga entah kapan; sebagai teman ketika bangsa ini loyo semangatnya, sebagai pengingat bahwa bangsa ini pernah memiki seorang penyanyi, penyair, dan pencipga lagu yang selalu gagah di panggung.

Selamat jalan Cak! Kami akan selalu mengingat geloramu.

Seperti satu meriam kau meledak
Seribu bedil adakah berarti
Kalau laras-laras sudah berbalik
Apalagi kau tunggu saudara

Ayo nyalakan api hatimu
Seribu letupan pecah suara
Disambut dengan satu kata: merdeka!

Merah putih mawar melati, merah putih bara hati
Merah putih mawar melati, merah putih setiap hati

Bunga-bunga berguguran di sana
Di bawah panji tanah airku, tanah merdeka

Bunga-bunga berguguran di sana
Di bawah panji tanah airku, tanah merdeka

(Nyanyian Tanah Merdeka, Leo Kristi)

[Baca juga: Musisi Leo Kristi Tutup Usia]

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com