Hanung menegaskan bahwa film tidak bisa menjadi bahan pelajaran sejarah apalagi dijadikan rujukan sebagai sumber sejarah. Menurut dia, film akan selalu subjektif karena merupakan salah satu syarat dalam membuat film.
"Kalau mau bejalar sejarah di perpustakaan. Film fungsinya mengembalikan kembali ingatan ke anak-anak muda, oh… ada toh yang namanya Sultan Agung, Soekarno, biar kemudian bisokop itu sebagai tempat dan trigger orang-orang belajar sejarah lebih dalam lagi, itu poinnya." tegas Hanung.
Terkait film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta, Hanung mengaku ada beberapa buku yang dijadikannya sebagai sumber yang kuat untuk pijakan skenario. Beberapa buku tersebut adalah "Runtuhnya Istana Mataram" karya H J de Graaf, "Roro Mendut" karya YB Mangunwijaya, "Mangir" karya Pramoedya Ananta Toer, serta beberapa literatur dari Belanda.
Baca juga: Hanung Bramantyo Gambarkan Perjuangan dan Pengorbanan Sultan Agung
Selain itu, Hanung juga menggunakan lukisan Sultan Agung karya pelukis S Sudjojono untuk dijadikan acuan memvisualisasikan sosok Sultan Agung.
Menutup pembicaraan, Hanung menyampaikan bahwa perdebatan seputar data sejarah pembuatan film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta juga terjadi dalam internal tim produksi.
"Perdebatannya justru pada eksekutif produser, bu Mooryati (Soedibyo), beliau percaya Sultan Agung dari Solo, tidak hanya dari Jogja, nah ini berbahaya, menurut saya Sultan Agung ada sebelum ada Jogja sebelum ada Solo, jadi tidak bisa Sultan Agung menggunakan beskap Solo, jarik Solo, Solo kan coklat, Jogja latar putih, sementara sejarawan Jogja merasa Sultan Agung dari Jogja. Nah ini repot toh, makanya dalam film kadang-kadang kita pake coklat, kita pake putih. Karena ini bapaknya orang Jogja, orang Solo," tutup Hanung Bramantyo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.