"Perempuan itu hidup di kuburan seperti pohon."
DEMIKIAN Arundhati Roy memulai novelnya berjudul "The Ministry of Utmost Happiness" yang diterjemahkan Arif Bagus Prasetyo menjadi Kementerian Maha Kebahagiaan (Kepustakaan Populer Gramedia, 2018).
Novel kedua pemenang Man Booker Prize 1997 ini baru terbit 20 tahun setelah dia menerbitkan "The God of Small Things", yang melejitkan namanya ke panggung sastra dunia.
Jika "The God of Small Things" Roy berkisah tentang seorang janda dengan anak kembar lelaki dan perempuan, sebuah kisah yang dimulai dari kisah keluarga besar yang kemudian berkembang menjadi percintaan antarkasta dan problem seksualitas. Duapuluh tahun menjadi aktivis politik dan sosial yang sangat vokal.
Roy menulis esei-–diterbitkan sebagai buku setebal 993 halaman berjudul My Seditious Heart-–yang suaranya terasa keras seperti halnya dalam novel Roy yang kedua.
Dalam novel terbarunya ini, dia bersuara melalui seorang transgender bernama Anjum dan sekumpulan tokoh "yang terbuang" yang hidup dan menetap di pemakaman sebagai sebuah suaka.
Sebelumnya, Anjum lahir dengan nama Aftab dalam kebingungan orangtuanya. Dia lahir sebagai bayi yang memiliki dua kelamin, hermafrodit dan orangtuanya memutuskan dia adalah lelaki yang cukup "dibereskan" oleh orang pintar.
Namun seiring waktu, Aftab mengikuti jiwanya, merasa dirinya seorang Anjum yang cantik yang kelak bergabung dengan sejumlah transgender lain di pondok Khwabgah.
Di pondok ini, pelbagai drama terjadi, dengan latar belakang sosial politik yang diramu oleh problem pribadi Anjum yang suatu hari akhirnya terlontar pada kerusuhan fisik yang menyebabkan dia "dipaksa" berpenampilan lelaki.
Pemimpin Redaksi Femina Petty Fatimah memilih novel ini setelah menikmati novel Roy yang pertama yang memang mengguncang. "Khas Roy, berani menampilkan berbagai hal yang tabu," demikian kata Petty.
Novel The Gods of Small Things memukau sekaligus memberi akhir yang mengejutkan, menurut Petty.
Adapun "The Ministry of Utmost Happiness" yang menampilkan panorama persoalan yang lebih luas lagi--pertanyaan tentang gender yang selalu dianggap binari, kasta, dan perang agama--menjadi bagian besar dari novel Roy ini.
Terkadang Roy tak bisa tidak memberi pernyataan atau komentar sosial melalui tokoh-tokohnya, terkadang terasa ada esei yang menyelip, kali lain terasa ada kemarahan dan luka yang mendalam.
Namun, karena bahasa Roy yang terpelihara, diksi yang terpilih, itu semua tetap menjadi satu novel yang memesona.
Petty Fatimah menyampaikan pendapatnya tentang novel ini dalam acara podcast Coming Home with Leila Chudori, Rabu (20/5/2020).