Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sigek Cokelak Karya Sutradara Indonesia Masuk Festival Internasional

Film ini disutradarai oleh sineas muda Indonesia, Ashram Shahrivar, yang tinggal di Los Angeles, California, AS.

Tidak tanggung-tanggung, pada International Filmmaker Festival of World Cinema 2018, Sigek Cokelat berhasil meraih tiga nominasi untuk kategori-kategori sutradara terbaik, naskah terbaik, dan film pendek asing terbaik.

Film yang terinspirasi dari kisah nyata ini bercerita tentang sisi gelap dalam industri minyak kelapa sawit yang dialami oleh sejumlah pekerjanya di Kalimantan Barat.

"Cerita ini mengenai satu keluarga yang memang bekerja di perkebunan kelapa sawit. Jadi, cerita intim tentang gimana keluarga ini bisa di-influence lah (oleh) perusahaan-perusahaan besar yang memang mempekerjakan mereka dan gimana aku men-deliver cerita ini lewat (makanan) cokelat," papar Ashram kepada VOA Indonesia ketika ditemui di Los Angeles belum lama ini.

Cerita film berdurasi 15 menit ini dituangkan oleh Ashram dan timnya dengan pengantar sebatang (makanan) cokelat, karena minyak kelapa sawit sering digunakan sebagai salah satu bahan dasarnya.

"Jadi memang Sigek Cokelat itu artinya sebatang cokelat. Itu bahasa Melayu, bahasa Kalimantan barat,” jelas lulusan New York Film Academy di Los Angeles ini.

Film yang sudah didaftarkan ke total 10 film festival di seluruh dunia ini juga mengintip sekelumit dunia bisnis dari para penanam modal asing yang mencari kesempatan untuk terjun ke industri minyak kelapa sawit.

"Dari situ kita masuk ke gambar kebakaran hutan dan di situ kita lihat gimana struggle-nya orang lokal sendiri. Jadi perspektif dari investor, dari orang yang di atas, dan kita lihat juga perspektif orang yang di bawah, yang memang kerja di situ," tambahnya.

Ide film ini berawal ketika Ashram menonton video yang tengah viral di Facebook mengenai orang utan yang sedang kesakitan karena luka bakar, dengan pemandangan hutan yang sudah gundul terbakar dan batang pohon yang gosong.

"Nah, dari situ aku mempertanyakan, 'Kenapa sih bisa sampai kayak gini?" ujar pemuda kelahiran 1996 ini.

"Aku pikir, apa yang bisa aku achieve untuk bisa mengubah itu, atau enggak, memberi tahu ke orang lebih luas lagi gitu, dan aku mikir," lanjutnya.

Dengan berbekal ilmu perfilman, Ashram kemudian mengajak teman-temannya, terutama yang tinggal di Indonesia, untuk melakukan riset tentang hal ini, hingga akhirnya terciptalah skenario Sigek Cokelat.

Pantang menyerah
Yang menjadi tantangan bagi Ashram Shahrivar adalah bagaimana ia bisa memberi pesan yang netral melalui Sigek Cokelat, mengingat ia juga tidak punya latar belakang sebagai aktivis peduli lingkungan.

"Aku enggak mau orang lain benar-benar melihat Indonesia itu jelek. Aku ingin coba untuk netral, karena di situ agak cukup tantangan lah, karena aku harus bisa menyeimbangkan dari sisi-sisi yang berbeda," paparnya.

Ketika melakukan riset, Ashram mendapati perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit yang memang tergolong sehat. Namun, ada juga yang ilegal.

Para penanam modal yang ia temui untuk riset pun banyak yang keberatan dengan cerita yang akan ia angkat lewat Sigek Cokelat.

Ia pun kemudian berusaha untuk mendapatkan informasi dari para penanam modal yang ramah lingkungan.

Shooting film ini dilakukan selama 10 hari. Ashram, sebagai sutradara dan produser, melibatkan 25 orang kru yang 10 dari jumlah itu merupakan para penduduk lokal di Kalimantan Barat.

"Jadi, aku bawa beberapa orang dari Jakarta dan beberapa orang lokal yang memang membantu kami di situ dan mereka cukup baik-baik semua. Mereka welcome ke kami," tuturnya.

Selain itu, ia dan kru juga mendapat bantuan dari lurah wilayah setempat yang meminjamkan dua rumah untuk mereka tempati selama shooting, mengingat di daerah tersebut tidak ada penginapan.

Mata Ashram terbuka ketika terjun langsung ke lokasi dan melihat secara dekat kondisi nyata dari kehidupan mereka.

"Ada perusahaan yang memang dengan massa yang besar dan punya nama besar. (Para pekerja) ya (diperlakukan) memang bagus gitu ya. Ada prosedur, ada safety, ada rules yang harus dikerjakan. Dan, tempat tinggalnya pun aku lihat cukup baik, ada beberapa," ujarnya.

Namun, Ashram mendapati masih ada penduduk yang bekerja di perusahaan berstatus tak jelas atau perusahaan besar yang tidak memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya.

Tempat tinggal yang disediakan pun kecil dengan hawa panas yang terasa di dalamnya.

"Di sana panas sekali dan anak-anak yang masih kecil kadang-kadang harus membantu orangtua, karena dalam satu hari mereka harus bisa setor sekitar 75 seed (biji)," ceritanya.

"Harusnya anak-anak di sekolah gitu. Dari pagi sampai sore di sekolah dan malamnya belajar atau pun gimana, aktivitas. Tapi, ini harus membantu orangtua yang memang butuh karena dia harus bisa mencapai goal itu. Jadi, kondisinya memang cukup ada yang memprihatikan dan memang ada pun yang sudah terorganisir. Itu yang aku lihat di sana," lanjutnya.

Tanggapan positif dari para penonton di AS
Hingga kini film Sigek Cokelat belum ditayangkan di Indonesia, karena masih terikat dengan persyaratan di berbagai festival film internasional.

Tanggapan dari para penonton yang hadir, khususnya dalam sesi tanya jawab, di Colorado Environmental Film Festival 2018 di Colorado positif dan menggugah hati.

"Mereka mau mengubah diri mereka sendiri gitu, karena mereka setelah nonton kayak, 'I didn't know about that. I didn't know cokelat ini dari situ.' Dan, mereka enggak tahu apa yang terjadi di sana," ucapnya.

Seorang penonton mengatakan kepada Ashram bahwa filmnya merupakan film terbaik di festival tersebut.

Penonton yang lain mengatakan bahwa film ini telah membuatnya berpikir tentang konsekuensi dari setiap langkah yang sudah atau belum ia ambil, yang mungkin tidak terlihat di dekatnya, tetapi terjadi di belahan dunia lain, yang juga mempengaruhi kehidupan orang dan lingkungan.

Lewat film ini Ashram memang ingin membuka mata orang-orang untuk melihat apa yang terjadi di "bawah" sana, sebagai contoh ketika tengah menikmati sebatang cokelat.

"Kayak dari cokelat sendiri itu, kalau dibuka, dilihat belakangnya ada palm oil (minyak kelapa sawit) kan? Nah, dari pekerja-pekerja yang memberi palm oil itu ke si perusahaan itu, gimana nih? How they work?" tuturnya.

"Jadi, pesannya ya untuk lebih menyadarkan atau melihat dari lensa yang lebih besar lagi untuk si sawit itu," tambahnya.

Menembus kancah perfilman internasional
Ashram Shahrivar, sebagai pendatang dari Indonesia yang mendapat kesempatan untuk menimba ilmu perfilman di AS, berhasil menembus kancah perfilman internasional dan itu bagai kerja keras dan jerih payah yang terbayar.

"Saya selalu percaya dengan diri saya, walaupun masih belum tahu apakah saya akan berkarier di AS atau di Indonesia, jadi saya jalani saja. Saya merasa bahagia dan bersyukur, kepada keluarga dan Tuhan,” tuturnya pula.

Bagi mereka yang ingin mendaftarkan film karya mereka ke festival atau ingin berkarier dalam industri perfilman AS, Ashram memberi saran berdasarkan pengalamannya.

"Jadi, memang harus beda dari yang lain. Itu paling penting. Dan, punya cerita yang otentik dan original gitu ya," ujarnya.

Ashram juga berpesan untuk menjalankan apa yang disukai dan jangan menyerah.

"Untuk submit ke festival-festival manapun enggak usah takut, enggak usah feeling, 'Ah, kayaknya bakalan enggak diterima nih sama festival ini.' Siapa tahu keterima kan?" tuturya.

"If you believe in your film and believe in yourself, pasti ada jalannya. Jadi, don't be afraid. Ada film festival, di seluruh dunia itu ada banyak banget. Di Amerika sendiri sudah ada ribuan. Apalagi di Indonesia. Belum di Eropa, di Asia, China, masih banyak, dan mereka welcome sama film-film yang baru," tambahnya menutup wawancara dengan VOA Indonesia.

https://entertainment.kompas.com/read/2018/03/18/192945610/sigek-cokelak-karya-sutradara-indonesia-masuk-festival-internasional

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke