Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Coldplay: Untuk Kita yang Merayakan Mimpi

Kompas.com - 02/04/2017, 20:30 WIB

SINGAPURA, KOMPAS.com -- Singel "A Head Full of Dreams" membuka konser hari kedua yang digelar band asal Inggris, Coldplay, di National Stadium, Singapura, Sabtu (1/4/2017) malam.

Puluhan ribu penonton yang memenuhi stadium sontak menggelegak dalam gelora musik yang menggemuruh disiram permainan tata lampu yang megah, spektakuler dan penuh warna. Inilah Coldplay.

Penggalan lirik "A Head Full of Dreams" yang sebelumnya didahului tuturan Charlie Chaplin di film The Great Dictator pun segera membahana ke seluruh penjuru stadium.

Oh I think I landed/in a world I hadn't seen/when I'm feeling ordinary/when I don't know what I mean.

Suara Chris Martin, vokalis Coldplay, terdengar jelas hingga ke posisi terjauh di stadium, diikuti koor suara penonton yang turut menyanyikan penggalan lirik itu.

Panggung besar di National Stadium yang dihiasi layar besar itu pun segera menampilkan atraksi permainan tata lampu penuh warna. Suasana makin menggelora.

Kilatan gelang xyloband yang dikenakan puluhan ribu penonton menyala mengikuti entakan lagu.

Untuk "A Head Full of Dreams", warnanya merah menyala. Membuat eskalasi konser yang dibuka penyanyi asal Inggris yang besar di Australia, Jess Kent, itu membuncah. Meriah.

National Stadium yang dipenuhi ribuan penonton itu ibarat gelombang lautan manusia yang bergerak berirama.

Seperti ada energi yang mengalir dari panggung ke seluruh stadium, yang lantas direspons ribuan penonton dengan energi tak kalah besarnya.

Saat "Yellow" mengalun, xyloband seketika berubah menjadi kuning. Penonton pun berteriak kegirangan, menyambut lagu "Yellow".

Baru lagu kedua, penonton yang seharusnya duduk pun bangkit beranjak dari kursi-kursi mereka, menggerakkan tubuh mengikuti musik.

Tak hanya Chris Martin, Johnny Buckland (gitar), Guy Berryman (bas), dan Will Champion (drum) pun memberi penampilan terbaik. Chris Martin berlarian di panggung mengalirkan energinya yang luar biasa.

Selain mengusung lagu-lagu di album A Head Full of Dreams, lagu-lagu hit dari album lain pun dibawakan Coldplay. Mulai dari "The Scientist", "Paradise", "Princess of China", "Fix You", hingga "Adventure of a Lifetime"mengguncang panggung.

Para personel Coldplay seolah tak kehilangan energi untuk terus memanaskan stadium, begitu juga dengan penonton yang terus-menerus bernyanyi bersama, kadang juga melompat mengikuti entakan lagu.

Resha, penonton asal Jakarta penggemar fanatik Coldplay, sengaja datang ke konser Coldplay karena penasaran dengan aksi panggung Coldplay.

"Dari video-video yang saya lihat, terutama yang di Australia itu, keren sekali. Ternyata yang di sini juga enggak kalah keren. Spektakuler," ungkap Resha.

Dessi Ariyanti, juga penonton asal Jakarta, menilai kualitas suara juga audio yang ditampilkan Coldplay sangat baik. Tidak jauh berbeda dengan kualitas suara dan audio di rekaman mereka.

"Tata cahaya bagus, antusiasme penonton juga bagus banget," ujarnya.

Meski tak terlalu banyak bicara, Chris menyapa penonton dengan ucapan terima kasih telah hadir di antara ribuan penonton.

Dia lantas meminta penonton untuk mengirim energi baik yang ada di tengah mereka ke negara-negara jauh yang sedang tak tenteram, seperti Suriah.

Chris dan teman-temannya juga memberikan kejutan dengan membawakan "Heroes" milik David Bowie.

Coldplay yang baru saja menerima anugerah Artist of The Year di ajang BBC Music Awards 2016 sempat dikecam karena dianggap David Bowie lebih pantas menerima penghargaan itu.

Ludes terjual
Aksi Coldplay pada Sabtu malam yang spektakuler itu merupakan penampilan kedua Coldplay dalam rangkaian tur konser A Head Full of Dreams Asia.

Singapura yang menjadi negara tujuan pertama tur Asia mendapat jatah dua hari setelah ribuan tiket konser yang sejatinya hanya dijadwalkan pada 1 April ludes terjual hanya dalam hitungan menit.

Penyelenggara pun memutuskan menjual tiket tambahan untuk konser terpisah pada 31 Maret yang juga ludes seketika dalam waktu tak terlalu lama.

Konser hari pertama di Jumat malam pun berlangsung meriah dengan puluhan ribu penonton. Sebagian besar penonton yang memenuhi National Stadium Singapura diperkirakan berasal dari Indonesia.

Mereka rela terbang ke Singapura untuk menyaksikan aksi Coldplay karena Indonesia tidak masuk dalam daftar negara yang dikunjungi Coldplay.

Sebagian masuk lewat Batam karena tiket penerbangan Jakarta-Singapura sudah melonjak tinggi.

Sebelum menginjak Asia, tur A Head Full of Dreams yang digelar sejak Maret 2016 telah lebih dulu menyapa 2,5 juta penonton di Amerika Latin, Amerika Serikat, dan Eropa.

Setelah Asia yang antara lain meliputi Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, Taiwan, dan Korea, Coldplay akan melanjutkan perjalanan mereka ke Eropa dan Amerika Utara.

Di Singapura ini adalah konser besar kedua Coldplay. Delapan tahun lalu, Coldplay juga pernah tampil di Singapura.

Nyatanya antusiasme penonton tak berubah. Konser Coldplay yang kali ini digelar dalam rangka promosi album ketujuh mereka, A Head Full of Dreams, tetap diburu penonton seiring meningkatnya popularitas Coldplay.

Sejak dirilis pada Desember 2015, album A Head Full of Dreams telah terjual hingga lebih dari 5 juta kopi di seluruh dunia dengan singel-singel hit, seperti "Adventure of a Lifetime", "Hymn for the Weekend","Up&Up", dan "A Head Full of Dreams".

Berbeda dengan album-album sebelumnya, di album ini Coldplay memasukkan berbagai unsur dan elemen musik dengan menggandeng sejumlah musisi serta penyanyi.

Noel Gallagher mengisi permainan gitar di "Up&Up", sementara Beyonce menjadi bintang di dua lagu, termasuk "Hymn for the Weekend" dengan anak perempuannya, Blue Ivy, mengisi suara latar.

Ada juga mantan istri Chris Martin, aktris Gwyneth Paltrow, dan kedua anak mereka, Apple dan Moses, yang turut ambil bagian di album tersebut.

Dalam sebuah wawancara, Chris Martin mengungkapkan, A Head Full of Dreams menyajikan campuran berbagai jenis musik yang menjadi referensi para personel Coldplay dari mulai Drake hingga Oasis.

"Ada perasaan bahwa kami baik-baik saja. Saat ini kami merasa sangat nyaman dengan kenyataan bahwa (musik) kami memang tidak untuk semua orang," ungkap Chris.

Hal serupa diungkapkan Berryman, musik Coldplay, ujarnya, akan berubah dari waktu ke waktu.

Namun, mereka memberi perhatian lebih pada melodi dan emosi. Mereka menyentuh emosi penggemar mereka melalui lagu, lalu membangun ikatan emosional lebih kuat lewat konser mereka.

Diremehkan
Di awal kemunculannya, band yang dibentuk pada September 1996 saat Chris dan Johnny bertemu di kampus mereka, Universitas College, London, ini menerima banyak kecaman. Musik mereka dinilai tak sesuai dengan lanskap permusikan kala itu.

Coldplay juga dinilai tidak memenuhi standar musik yang dimainkan bintang-bintang rock. Media pun meremehkan mereka.

Seolah tak hirau dengan suara-suara negatif di sekitar mereka, Coldplay yang sejak pertama kali dibentuk, hampir 21 tahun, tak pernah berganti personel justru makin produktif menghasilkan karya.

Saat mereka sibuk menggelar rangkaian tur seperti saat ini, Coldplay bahkan merilis mini album dengan singel "Hypnotised".

Setelah merilis album perdana mereka, Parachutes, yang meroketkan singel "Yellow" dan menduduki posisi terhormat di jajaran lagu teratas Inggris, Coldplay merilis album A Rush of Blood to the Head.

Tak lama kemudian, album ketiga, X & Y, pun lahir. Album ini menjadi the best-selling album of the year, dengan angka penjualan mencapai 8,3 juta kopi di seluruh dunia dan menduduki posisi nomor satu di daftar lagu teratas yang ada di 20 negara.

Tahun 2007, Coldplay menggelar tur ke Amerika Latin dan merilis album keempat mereka, Viva la Vida or Death and All His Friends pada Juni 2008.

Album ini meledak hebat, salah satu album yang terjual paling cepat dalam sejarah di Inggris Raya, sekaligus menjadi the best-selling album of the year dan merajai jajaran lagu-lagu teratas di seluruh dunia.

Album kelima Coldplay, Mylo Xyloto dirilis pada 2011, disusul album keenam, Ghost Stories pada 2014. Album ini lagi-lagi juga menduduki posisi teratas di jajaran lagu di Inggris dan Amerika.

Album ketujuh mereka, A Head Full Of Dreams menjadi album ke-8 paling laku di tahun 2015 dengan penjualan mencapai 1,9 juta kopi di seluruh dunia.

Hingga 2016, Coldplay tercatat telah menjual 80 juta album rekaman di seluruh dunia dan menyabet berbagai penghargaan termasuk Grammy dan Brit Awards.

Meski lagu-lagu Coldplay didominasi lirik-lirik yang berkaitan dengan hal-hal personal, seperti cinta dan patah hati, band ini tetap peduli pada isu global.

Mereka antara lain terlibat dalam kampanye fair trade Oxfam's Make Trade Fair. Mereka juga menunjukkan kepedulian pada isu-isu lingkungan dengan bergabung dalam kampanye Future Forests dan menolak penggunaan lagu-lagu mereka untuk keperluan komersial.

Bagi mereka, tak penting ada yang tak menyukai musik mereka. Mereka memilih memberi perhatian kepada hal-hal berguna dan fokus pada yang mencintai dan menghargai kerja mereka.

"Kami memilih dekat dengan orang-orang ini," ujar Martin. Mereka adalah orang-orang yang di kepalanya punya banyak mimpi untuk melakukan yang terbaik. (DWI AS SETIANINGSIH)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 April 2017, di halaman 17 dengan judul "Untuk Kita yang Merayakan Mimpi".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com