Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Memahami Islam yang Anggun Melalui Seni

Kompas.com - 23/06/2017, 18:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Seni rupa Islam kontemporer

Perkembangan seni kontemporer kita, di Tanah Air, tak hanya menampakkan warisan seni modern dari perkembangan seni Eropa yang kemudian mendunia dan bertemunya dengan khasanah budaya Islam Nusantara.

Seperti kita lihat di karya-karya perupa Ahmad Sadali, Pirous, sampai Amang Rahman sebagai misal. Namun, juga sangat dipengaruhi pada era dimana Kuntowijoyo, mengenalkan konsepnya dengan sastra profetik pada 90-an.

Konsep itulah, yang bisa jadi cikal-bakal kita memahami arah perkembangan karya-karya para perupa pada era tahun 2000-an ini.

Di tengah tidak tersokongnya infrastruktur seni bernuansa Islam kita, yang justru di antara rabunnya seni kontemporer dunia yang “kehilangan arah”, mengalami kenisbian diskursus dari jantung perkembangannya di Barat dengan mantra anything goes.

Hal itu kadangkala, justru melawan nilai-nilai kemanusiaan, selain kelinglungannya menghadapi menguatnya seni Timur, dengan representasi China dan India.

Sebenarnya, terbuka ruang cukup luas tumbuhnya seni kontemporer Islam, khususnya Islam Nusantara di Indonesia.

Globalisasi memberi energi Kuntowijoyo dengan konsep profetiknya, sejak lama, ia memberi sinyal bahwa selain transendensi-ketuhanan, seni profetik memberi keluasan kemanusiaan, kebebasan menerima ilmu pengetahuan anyar serta wujud sosiologisnya: kesalihan sosial.

Manusia tak bisa tercerabut dari kemanusiaanya sebagai makhluk sosial dan personal, yang pada akhirnya mengerucut pada ketundukan yang mutlak pada sang Penciptanya. Sejak Festival Istiqlal, yang dihelat oleh rezim Orde Baru pada 1991 dan 1993, hanya ada sejumlah kecil peristiwa besar seni Islam kontemporer dihelat.

Menurut catatan penulis, pada 2011 ada eksibisi besar pameran seni rupa Islam “Bayang”, di Galeri Nasional Indonesia (GNI) yang mewadahi ratusan partisipan perupa yang menafsirkan wajah seni Islam.

Kemajemukan karakter karya yang ditampilkan dengan penerapan kuratorial yang cair memberi kekuatan dengan presentasi penjelajahan eksplorasi dengan hasil yang tak terduga dan segar. Digelar oleh alumni Institut Teknologi Bandung (ITB).

Kekuatan keberagaman dan persebarannya jenis karya menghadirkan, contohnya “seni rupa Islam klasik” dengan berbasis pada teks Al Quran, yakni kaligrafi.

Arsip Bambang Asrini W Karya Ilham Khoiri, Basmallah, Hitam Putih, 2017
Dengan ciri lukisan atau medium dua dimensional bisa kita jumpai di sini, seperti misalnya milik Abay Subarna, Syaiful Adnan, Siroddjudin AR maupun Agoes Tajjudin.

Karya abstrak-anthromorphik tiga dimensional yang gigantik (instalasi- video) mengundang kekaguman juga menampak, milik Narsen Afatara. Yang lain, presentasi cukup menarik ditampillkannya narasi spiritual dengan tuturan puitik seperti instalasinya Gabriel Aries atau patungnya Wilman Syahnur.

Selain itu, instalasi bambu-bambu besar dan susunan telur yang seolah belum menetas atau sudah terbuat dari bahan resin milik Hadi Siswanto cukup menggelitik. Bagi para perupa muda, kecairan kuratorial pameran ini juga menjadi ajang demonstrasi eksplorasi media.

Seperti yang ditunjukkan oleh Bagus Pandega dengan memakai pita kaset, disusun sedemikian rupa menyerupai ornamentasi pintu gerbang masjid atau Banung Grahita dengan animasinya yang terasa puitis nan religius.

Tak ketinggalan, perupa Tisna sanjaya yang mengkritisi budaya Islam dengan “rumah seng” yang dicorat-coret merepresentasikan kegundahan Islam dan “rumahnya” yang ideal di Indonesia.

Empat tahun kemudian, kita menyaksikan Pameran “Matja: Membaca Seni Wali-Wali Nusantara” pada 2015, yang diikuti perupa seperti Nasirun, D. Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Mustofa Bisri, Lucia Hartini, Stefan Buana, S Teddy D, Bunga Jeruk, Jeihan, Entang Wiharso, Ivan Sagita, Agus Suwage, Heri Dono dll.

Pameran ini, adalah peringatan menuju Muktamar organisasi Nahdatul Ulama (NU) di Jogja National Museum (JNM).

Sementara itu, dua tahun kemudian, Mei lalu usai dipergelarkan hajatan tahunan pameran lukisan kaligrafi “Tafakur” pada 20-30 Mei 2017 di galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta dengan partisipan peserta seperti Ilham Khoiri, Achmad Noe’man, Oky Alfie, Badrus Zaman dll yang diselenggarakan oleh Istitut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan Lembaga Kaligrafi Al Quran yang dipimpin Sirojuddin AR.

Penulis mungkin luput mencatat pergelaran-pergelaran seni Islam kontemporer lain di Indonesia, yang bisa jadi cukup berpengaruh. Di lain pihak, dalam dunia industri, galeri komersil, jika tidak salah Artsociates menggelar beberapa art fair untuk seni kaligrafi dan seni rupa Islam di sejumlah tempat.

Selebihnya, pameran-pameran solo atau karya-karya para perupa secara sporadik memunculkan seni rupa Islam yang mencerahkan, seperti awal 2000-an, kita bertemu perupa Tita Rubi, di Galeri Cemara 6, Jakarta mempresentasikan pameran berjuluk “Bayang-Bayang Maha kecil”.

Tita membuat karya yang menyentuh hati, patung-patung bayi kecil dengan “rajah” huruf-huruf Arab yang merupakan narasi bahwa manusia semenjak lahir selalu terbawa doa-doa Ibu dan bapaknya.

Yang lainnya, dalam beberapa kesempatan, seperti di Biennale Jogja 2011, perupa perempuan lain, Arahmaiani mementaskan teks-teks huruf Arab raksasa tiga dimensi bermateri guling-bantal, cukup inspiratif dan segar.

Yang lainnya, Lenny Ratnasari Weichert, pada 2016 di GNI, di Jakarta menggelar karyanya yang puitik “Homage to Anonymous” yang mengungkap sejarah penyebar agama Islam pertama di Tanah Air, Fatimah Binti Maimun, yang bukan Wali Songo, pada masa Masapahit dalam pamerannya solonya “Pilgrimage”.

Sedangkan lainnya, mungkin lusinan gelaran seni namun tidak merupakan pameran raksasa dengan tema utama Islam dan seni Islam kontemporer yang bisa kita jumpai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com