Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Apa di Balik Ramainya Film Berbahasa Jawa?

Kompas.com - 16/03/2018, 19:31 WIB
Irfan Maullana

Editor

Hal serupa disampaikan Eden Junjung, yang filmnya Happy Family (2016), juga ditayangkan di festival Film, Musik, Makan. Pernah bekerja sebagai editor film di Jakarta, Eden memutuskan untuk berkiprah di kampung halamannya, Yogyakarta.

"Aku tidak tahu kenapa, tetapi iklim toleransi, berkomunitas, berkumpul membicarakan sesuatu itu, masih terjadi di Yogyakarta," kata Eden.

Happy Family yang berkisah tentang seorang penjaga masjid yang mencari putrinya yang bekerja menjadi pekerja seks komersial itu, telah ditayangkan di sejumlah festival film di Malta dan Rusia.

Banyaknya produksi yang dilakukan sineas Yogyakarta, menurut Eden, karena para pekerja film di sana 'tidak selalu manut pada uang'.

"Ketika temanya dianggap menarik, penting, bahkan dibayar kecil mereka tidak masalah. Lebih ekstrem lagi, kalau tidak ada duit, tidak dibayar juga tidak apa-apa.

"Sementara (perfilman) di Jakarta, orang-orang sibuk dengan deadline dan keuntungan," lanjut Eden.

Ditambahkan Wregas, rekan-rekannya lebih senang menggarap film di Yogyakarta, "karena punya banyak ruang eksplorasi dan keleluasaan beride. Misalnya Edi Cahyono yang membuat Siti. Eksplorasi gagasannya dalam, dan tidak menuntut kalau film itu harus diputar di bioskop dan laris.

Menurut Wregas, "Jika tidak ada bioskop biasa yang mau menayangkan, masih ada ruang alternatif lain, seperti festival film atau bioskop alternatif."

Merambah komersial

Sinema berbahasa lokal juga memberikan kesempatan kepada aktris setempat untuk menunjukkan kemampuannya. Salah satu yang menonjol adalah Sekar Sari. Sebelum berperan dalam Waung yang digarap Wregas, Sekar mencuri perhatian dalam film hitam putih berbahasa Jawa, Siti.

Lewat Siti, yang tayang di berbagai festival film dunia, Sekar meraih penghargaan Pemeran Utama Wanita Terbaik Usmar Ismail 2016.

Sekar baru saja merampungkan film karya sutradara Jepang, Koji Fukada, yang berjudul Laut. Pada film drama fantasi tentang tsunami dan berlatar di Aceh itu, Sekar harus berakting dalam bahasa Aceh.

Baca juga : Ini Alasan Siti Tidak Didaftarkan Seleksi Piala Oscar 2017

Kepada BBC Indonesia, perempuan yang menempuh pendidikan di Universitas Roehampton, London, tersebut tidak setuju dengan anggapan bahwa berakting dalam bahasa ibunya (Jawa) lebih gampang, dan berakting dalam bahasa yang sebelumnya sama sekali tidak dikenalnya (Aceh), lebih sulit.

"Itu (bahasa) bisa dipelajari. Bahasa adalah keterampilan. Belum tentu berperan dalam Bahasa Indonesia, misalnya, lebih mudah atau lebih sulit, itu tergantung kemauan kita untuk mencapai karakter itu," cerita Sekar.

Sekar merasa semakin banyaknya film berbahasa daerah, "sangat membantu menunjukkan identitas Indonesia yang beragam dan kaya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com