Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Apa di Balik Ramainya Film Berbahasa Jawa?

Kompas.com - 16/03/2018, 19:31 WIB
Irfan Maullana

Editor

"Kemarin saya nonton film Yowis Ben karya mas Fajar Nugros. Dengan cita rasa Jawa Timuran. Itu menarik sekali. Beda dengan film komedi yang tayang akhir-akhir ini. Segar dan otentik. Senang melihat keberagaman itu."

Yowis Ben adalah film komersial berbahasa Jawa Timuran 'pertama di Indonesia'. Diproduksi Starvision dengan sutradara Fajar Nugros dan Youtuber Bayu Skak, film komedi remaja yang berlatar di Malang ini telah ditonton hampir 800.000 orang dalam 20 hari penayangannya.

Baca juga : Penonton Yowis Ben Tembus 500.000, Bayu Skak Penuhi Target

Kepada BBC Indonesia, Fajar Nugros menyebut larisnya Yowis Ben adalah pembuktian bahwa jika komedi dituturkan dengan bahasa yang sangat dekat, maka akan bisa diterima.

"Pemainnya bisa lebih pol karena menggunakan bahasa sehari-hari, khususnya Bayu (Skak) dan Josua (Suherman)."

Film yang ditayangkan dengan terjemahan Bahasa Indonesia ini berkisah tentang Yowis Band, sebuah band asal Malang yang digawangi Bayu (Bayu Skak) dan rekan-rekannya, yang bertekad meraih mimpi untuk menjadi terkenal.

"Film itu bahasa universal. Kita bisa nangis kok melihat film Korea meskipun nggak ngerti dia ngomong apa. Nonton horor Thailand, kita bisa takut kok. Film itu universal," pungkas Fajar.

Bahasa daerah lain?

Namun, mayoritas film berbahasa daerah yang muncul adalah film berbahasa Jawa. Lalu bagaimana dengan film dari daerah lain? Dari Sumatera, Kalimantan, Papua dan lain sebagainya?

Terakhir yang ramai dibicarakan adalah Uang Panai yang berbahasa Bugis-Makassar yang dirilis Agustus 2016 lalu.

Wregas merasa film-film dari daerah lain juga penting untuk muncul "agar kita bisa lebih memahami kebhinekaan dan keberagaman." Dia berharap semangat yang telah mulai muncul di Makassar, lewat film Uang Pana', agar ditiru oleh berbagai daerah lain.

Di sisi lain, Fajar Nugros menganggap cerita dan budaya dari daerah selain Jawa, sebenarnya telah diangkat oleh berbagai film layar lebar negeri ini. Meskipun hanya menggunakan dialek daerah saja, "film si Doel dan Benyamin itu sudah mengangkat budaya Betawi. Kabayan itu budaya Sunda. Nagabonar dari Medan."

Baca juga : Film Uang Panai Masuk Daftar Referensi Bayu Skak

Seorang penonton film, Ian Adiwibowo merasa perlu adanya film dari daerah lain lengkap dengan bahasa lokalnya, karena dia penasaran "melihat eksotisme baru, dan cara pandang masyarakat yang berbeda yang diangkat oleh film-film dari daerah berbeda."

Ian selama ini menjadikan film berbahasa lokal sebagai medium untuk mempelajari manusia dan berbagai karakternya.

"Lihat film dengan bahas daerah berbeda, membuat kita jadi mengenal berbagai macam kelompok orang. Dan ternyata ujung-ujungnya, meskipun berbeda, kita sama saja. Ternyata orang di Sumba, misalnya juga punya ketakutan atau kesenangan yang sama dengan saya yang di Jakarta ini."

Dengan banyaknya film dari daerah lain "kita jadi lebih dekat dengan akar kita, dan jadi memahami budaya di sana (daerah lain). Saling mengenal inilah yang membuat kita lebih saling sayang sebagai sebuah bangsa," pungkas Wregas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com