SEBUAH keris. Sebuah ledakan cerita.
Kanjeng Kiai Kirosih adalah "Sang Keris" yang menembus ruang dan waktu. Berpindah dari satu tangan ke tangan lain; tangan seorang senapati, ke tangan pencuri, ke tangan telik sandi hingga pernah pula menyemburkan cahayanya di tangan seorang ledhek.
Dalam novel sepanjang 110 halaman ini (Gramedia Pustaka Utama, 2020), penulis Panji Sukma berkisah tentang Kirosih yang tak hanya menjadi rebutan dan menggegerkan jagat ini, tetapi seperti manusia, Sang Keris juga mempunyai hasrat,ambisi, keinginan dan kecemburuan.
Program podcast "Coming Home with Leila Chudori" kali ini, saya mengundang Adinia Wirasti, aktris pemenang Festival Film Indonesia yang mempunyai ketertarikan khusus pada wayang dan literatur serta budaya Jawa, untuk membahas "Sang Keris" yang tahun lalu menjadi pemenang kedua Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta itu.
Sebelumnya, pada musim tayang lalu, Adinia pernah kami undang untuk membahas buku "Centhini, Kekasih yang Tersembunyi"--saduran, gubahan, atau tafsir Elizabeth Inandiak (Kepustakaan Populer Gramedia)--yang menunjukkan bagaimana pemahaman dan minat Adininia terhadap kebudayaan Jawa terutama tentang dalang dan perwayangan.
Bagi Adinia, "Seorang dalang memiliki kedudukan yang istimewa. Bagi seorang pekerja film seperti saya, dalang seperti seorang sutradara, kreator sekaligus pemain."
Dengan kata lain, seorang dalang adalah sang penentu segalanya, seperti yang kelak disajikan dalam salah satu bab novel ini.
"Sang Keris" bagi Adinia adalah sebuah novel pendek yang menjadi langkah pertama dari sebuah cerita panjang.
Paling tidak itu harapan Adinia karena, "Karakter demi karakter yang menarik yang sangat potensial untuk dikembangkan."
Seperti halnya yang juga diutarakan para juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019, "Beberapa dapat berdiri sebagai cerita tersendiri..."
Novel yang dinyatakan sebagai pemenang kedua ini-–setelah novel "Aib dan Nasib" karya Minato--memang berhasil memukau dengan berbagai tokoh yang bernafsu memiliki keris sakti yang memiliki tabiatnya sendiri.
Perjalanan keris Kanjeng Kiai Karonsih terbentang sejak periode kerajaan Jawa kuno, Majapahit, hingga Indonesia di masa modern.
Setiap bab berganti, keris itu berpindah tangan entah karena dicuri atau karena pemilik sebelumnya kalah pertarungan.
Kisah setiap bab tidak disajikan secara kronologis sehingga kita bisa saja melompat dari periode masa silam ke masa kini.
Yang konstan dalam setiap bab adalah keris Kiai Karonsih yang sakti. Sedemikian dahsyatnya, hingga dari maling, perampok, hingga senapati dan raja berburu sang keris karena bernafsu memilikinya.