Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Coming Home with Leila Chudori: Adinia Wirasti Menggenggam "Sang Keris"

Kompas.com - 17/06/2020, 07:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jika Adinia Wirasti mengaku bab-bab awal novel ini adalah page-turner yang sulit membuatnya berhenti, saya malah merasa bab awal adalah bagian yang agak menyiksa karena menggunakan sudut pandang orang kedua: "Kau pasti paham mengapa gadis-gadis bau kencur itu tak tertarik padamu, bahkan sekadar melirik pun tak akan lebih dari dua detik..."

Menggunakan sudut pandang kedua--yang jarang digunakan, tetapi tampaknya disukai oleh beberapa penulis Indonesia--mempunyai risiko tersendiri.

Paling tidak bagi saya sebagai pembaca, sudut pandang kedua akan membangun pagar-pagar, halangan berimajinasi luas karena si pencerita nyaris mendikte pembaca.

Tentu saja saya menghargai keinginan Panji Sukma untuk bereksperimen dan hasratnya untuk mencoba-coba. Ini adalah sebuah keinginan yang sah sekaligus berisiko.

Untung saja ketika Panji Sukma masuk ke bab berikut tentang Arya Matah, ia menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Cerita langsung melesat, bergerak dengan gesit dan dengan sekejap tokoh-tokoh ciptaan Panji langsung meringkus perhatian.

Barulah pada titik ini, kita tak akan mau berhenti membaca dan mengikuti kelincahan petualangan Sang Keris.

Tak mengapa kisah ini diungkapkan secara non-linier, Panji Sukma tetap mahir memperkenalkan tokoh-tokoh yang asyik di dalam waktu yang singkat, misalnya Suji, sang Penari yang tenang dan sekaligus dahsyat ketika berlaga menerabas leher Parikesit.

Atau, saat Sang Dalang Ki Narti Sabdo "berbincang" dengan wayangnya Prabu Karna yang menurut Adinia Wirasti adalah salah satu bab yang paling memukau.

Bagi Adinia, bab ini adalah sebuah "kesaksian" bagi tokoh Karna "yang diberi nyawa" untuk berbicara bahwa dia diciptakan untuk dikorbankan, agar kemenangan tetap berada di tangan Pandawa, agar keseimbangan terjaga.

Perbincangan yang asyik dengan narasumber seperti Adinia Wirasti yang menikmati dunia perwayangan dan berbagai istilah Jawa Tengah, bagi saya selalu membuka pintu-pintu tafsir baru.

Kami sama-sama sepakat, di dalam buku yang begitu tipis dan ruang yang sempit, Panji Sukma berhasil menciptakan ledakan.

Tentu saja kami juga berharap suatu hari Panji Sukma membuat sebuah cerita yang lebih luas dan dalam dari novel "Sang Keris" karena pembacanya sudah terlanjur terikat dan terpesona dengan tokoh-tokohnya.

Perbincangan dengan Adinia Wiratsi tentang novel "Sang Keris" karya Panji Sukma bisa Anda dengarkan hari ini di Spotify.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau