"KANKER adalah maharaja segala penyakit, raja teror," demikian kata Siddharta Mukherjee , dokter spesialis dan peneliti kanker terkemuka itu menulis di dalam bukunya yang terkenal "The Emperor of All Maladies".
Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rahmat Purwono menjadi "Kanker, Biografi Suatu Penyakit" (Kepustakaan Populer Gramedia, 2020).
Buku setebal 658 halaman ini mungkin tampak membuat kita "putus asa". Dengan topik gelap seperti ini, sebuah penyakit yang oleh penulisnya disebut sebagai "monster".
Mengapa kita harus membacanya, apalagi di masa pandemi yang memperkenalkan "monster" baru yang adatnya masih baru kita kenal sekelumit belaka?
Karena, Siddharta Mukherjee bukan sekadar menulis dari sisi medis, tetapi juga dari sisi politik dan kebudayaan.
"Di bagian inilah Mukherjee memisahkan diri dari teks medis," demikian komentar Prof Dr Aru Sudoyo di dalam program podcast "Coming Home with Leila Chudori" yang tayang hari ini.
Sebagai seorang hematologist onkcologist selama 34 tahun, Dr Aru menganggap bahwa buku ini wajib dibaca bukan di kalangan medis belaka, tetapi masyarakat umum yang sering mempunyai banyak pertanyaan dan kebingungan menghadapi makhluk bernama kanker ini.
Mukherjee menarik sejarah kanker sejak 4000 tahun silam, meski nama itu masih belum dikenal sebagai "kanker".
Menurutnya, temuan tertulis tentang tanda-tanda kanker tertulis di atas kertas papirus tahun 1600 SM.
Tulisan hieroglyphic memberikan sugesti sebuah rekaman penderita kanker payudara dengan menyatakan adanya "pembengkakan tumor... laksana menyentuh bola yang terbungkus."
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan