Emosi justru terbangun lewat gambar-gambar close up dan big close up. Tak kurang dari 40 persen film berisi gambar close up dan big close up ini.
Dengan teknik ini, semua detail wajah Ale ataupun Anya terpampang jelas. Sampai terlihat jelas enam tahi lalat di wajah Adinia, terutama di kelopak bawah mata kanan dan dahi.
Bahkan, seolah penonton dapat menghitung jumlah brewok Ale.
Bukan itu tentu saja yang ingin disampaikan sutradara Monty Tiwa.
"Pemilihan shot memang penting. Apabila kita memilih shot yang salah, emosi yang diinginkan tidak akan sampai ke penonton. Di banyak adegan, kami membutuhkan jenis shot yang membuat Ale dan Anya terasa personal, bagi satu sama lain dan bagi penonton kami," kata Monty.
Monty dibantu sinematografer Yudi Datau sengaja menggunakan kamera Alexa Mini dan lensa bukaan lebar (1,9-4) untuk menghasilkan gambar close up.
Gambar-gambar close up dengan bukaan besar menghasilkan gambar dengan ruang tajam yang tipis sehingga fokus penonton lebih terjaga pada detail yang tajam tadi.
Ini kerap digunakan ketika Ale dan Anya berdialog, baik ketika bahagia, marah, maupun sedih. Lewat ekspresi wajah masing-masing, emosi itu terbangun.
Film ini diangkat dari novel dengan judul sama karya Ika Natassa. Ika juga terlibat dalam produksi film mulai tahap penulisan skenario, casting, penambahan dan pengurangan adegan, sampai final cut.
Baca juga: Ika Natassa Beri Syarat agar Critical Eleven Bisa Dijadikan Film
Ika memuji Reza dan Adinia dalam menghidupkan Ale dan Anya, yang menurutnya melebihi ekspektasi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.