Oleh totalitasnya itu, penonton tidak peduli lagi dengan tempo lagu dan kerapihan bunyi yang dia tampilkan. Penonton hanya merasakan, bahwa mereka sedang berhadapan dengan sejarah panjang musisi sekaligus penyanyi yang setia dengan pilihan musiknya yang sunyi dari industri yang ingar bingar.
Penonton hanya ingin mencecap gelombang spirit Leo dari cabikan gitarnya, lengkingannya yang kadang lirih kadang menggelegar, matanya yang kadang lembut kadang tajam, juga cintanya yang bening pada bangsa dan ini negeri ini yang terpancar lewat syair-syair lagunya.
Saat kami berhadap-hadapan untuk wawancara, baik di rumah Puntadewa tempat Leo tinggal di Pondok Labu, maupun saat kami melanjutkan obrolan di Taman Ismail Marzuki, barulah saya menyesal, kenapa menghabiskan waktu sedemikian banyak untuk membaca referensi mengenai Leo. Sebab di hadapan saya waktu itu, Leo ternyata bukan penutur yang baik. Kalimat yang muncul dari Leo dia awali dengan, "eeee...piye yo...anu.. Dan diakhiri dengan tawa.
Begitulah, wawancara yang berlangsung berjam-jam dan dilakukan di beberapa tempat ternyata hanya menghasilkan tak lebih dari satu halaman catatan di lembar tabloid. Untuk memenuhi beberapa halaman lainnya kami punya siasat, yakni dengan memajang foto Leo dalam ukuran besar-besar.
Sehabis pertemuan itu, saya masih bertemu beberapa kali di Jakarta dan di Bali. Leo tetap seperti sedia kala saat saya mengenalnya. Langsing, bercelana dan berkaos hitam ketat, kadang bertopi, rapi, dan masih dengan suara yang romantis.
Terus terang, belakangan saya agak sebal dengan Leo. Karena tidak ada lagi karya-karya hebat yang lahir setelah pertemuan itu. Pertunjukan Leo lebih banyak digelar untuk kebutuhan kangen-kangenan, sehingga yang dia nyanyikan adalah lagu itu itu saja.
Bahkan di banyak konsernya, para pemujanyalah yang aktif menimpali nyanyiannya. LKers, adalah nama persatuan fans Leo yang kerap mengundangnya konser. Terakhir, beberapa hari sebelum kepergian Leo, L'Kers menyelenggarakan acara penggalangan dana untuk Leo.
Kini Leo sudah pergi, membawa serta mimpi-mimpinya yang ingin mendokumentasikan khasanah lagu-lagu rakyat Idonesia ke dalam komposisinya.
Ya ya...Leo memang telah pergi, tapi karya-karyanya masih tinggal di sini, bersama bangsa ini hingga entah kapan; sebagai teman ketika bangsa ini loyo semangatnya, sebagai pengingat bahwa bangsa ini pernah memiki seorang penyanyi, penyair, dan pencipga lagu yang selalu gagah di panggung.
Selamat jalan Cak! Kami akan selalu mengingat geloramu.
Seperti satu meriam kau meledak
Seribu bedil adakah berarti
Kalau laras-laras sudah berbalik
Apalagi kau tunggu saudara
Ayo nyalakan api hatimu
Seribu letupan pecah suara
Disambut dengan satu kata: merdeka!
Merah putih mawar melati, merah putih bara hati
Merah putih mawar melati, merah putih setiap hati
Bunga-bunga berguguran di sana
Di bawah panji tanah airku, tanah merdeka
Bunga-bunga berguguran di sana
Di bawah panji tanah airku, tanah merdeka
(Nyanyian Tanah Merdeka, Leo Kristi)
[Baca juga: Musisi Leo Kristi Tutup Usia]
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.