PROGRAM #BasriMenyapa awal Juli 2020 ini kembali digelar, dialog online lewat zoom meeting seri ke-4. Kita sekarang menjumpai seniman Jumaldi Alfi.
Alfi menyelesaikan studinya di Institut Seni Indonesia pada 1999, Yogyakarta, dan sempat meraih penghargaan sebagai finalis di Indonesian Art Award. Kelak ia menjelajahi berbagai benua, berpameran atau kerja-kerja personalnya yang diundang oleh lembaga-lembaga seni internasional di Eropa, Australia, Amerika, pun tak luput di Asia.
Ia hilir-mudik menempatkan diri secara elegan, membuka perspektif industri seni, semisal berpameran di Art Fair bekerjasama dengan galeri privat.
Saat lain, ia meraih kesempatan menimba ilmu seni, menggali wacana termutakhir dengan bersua kurator, penulis, kritikus atau periset seni dengan program-program residensi mancanegara.
Baca juga: Basri Menyapa: Pandemi, Visi Berbagi, dan Elaborasi Farhan Siki
Publik seni kita mengenal karya perupa Alfi acapkali menggunakan strategi visualisasi puitik. Alfi salah seorang pendiri, anggota dan “juru bicara” kelompok seni rupa JENDELA yang fenomenal itu, yang memang piawai mengeksplorasi akar kultural Minang dan tentunya bermantra pengucapan kontemporer.
Perupa ini mengaku memilih “bertafakur” tiga tahun ini. Bersibuk merenungi eksistensi berkeseniannya, mendedah ulang karya-karyanya; dengan bertukar-pikir dengan sesiapa saja, utamanya: dirinya sendiri.
Tajuk Isolasi dan kontemplasi adalah aktivitas menguak pengalaman batiniah, melacak jaraknya, menakar arah, mengupas ikatan antara diri dan lukisannya.
Riuh pandemi menguarkan aura gelap,
zahirnya tak hilangkan nyali.
Sekali termenung diam menyecap,
berfikir hikmah mencari titik nadi.
Tak ada pelukis rebah berhari-hari,
ia bersibuk mengolah palung nalar dan tebing rasa tak henti.
Sebab sesiapa memahami si jati diri,
kelak menuai makna yang hakiki.
Alfi sejak awal karirnya memang menyukai mengeruk relung terdalam ingatan tentang yang sadar dan yang tidak.
Perenungan itu berulang rupanya, membingkai tajuk-tajuk pamerannya, seperti: serial melting memories, juga menelisiknya selama bertahun-tahun disambung dengan serial papan tulis hitam, membedah sejarah seni rupa modern Indonesia dengan konteks India Molek atau paradigma yang tenar dengan sebutan “Mooi Indie” itu.
Sebagai orang Sumatera Barat, Alfi dianugerahi intelektualitas dan kepekaan rasa dekat dengan alam, karya puisi, tuturan lisan para ninik-mamak serta seabrek tata ungkap metafor-metafor keseharian tradisi.
Hal itu memperkaya gagasan, mempertanyakan kembali tatkala seni kontemporer tak menegasi hal-hal yang beraroma tradisional. Berbeda dengan era tatkala seni modern bersentuhan dengan dunia Barat yang meminggirkan “seni lukis klasik” kita di awal abad ke-20 lalu.
Alfi dengan cara yang elok mengamini yang lokal. Ia membawa bahasa artistiknya berjalan diantara dua arah, berakar kuat ke bawah dan menjulang meraih yang tiba-tiba hadir di atap abad ini.