Secara bersamaan, berhadapan telak dengan tembok-tembok yang dicorat-coret dengan teks-teks yang nirmakna dan visualisasi abstraktif lain yang cerderung berwarna muram.
Ia memandu kita bagaimana sejatinya bahasa terpiuh, teks maupun yang visual saling berkontraksi antar elemen. Mereka mencipta makna-makna baru atau konfigurasi perlambangan tertentu yang malahan menghilangkan sama sekali arti yang ajeg.
Sebuah konstruksi makna bisa jadi terus-menerus bertukar posisi mengurangi, menambal dan melompat sekaligus bermain yang kemudian bertransformasi menandai segalanya menjadi serba entah.
Serupa teka-teki, makin jauh ia kita coba ungkap semakin galau kita tatkala kemisteriusan datang menghadang.
“Saya ingin memandang dan melihat seni lukis kembali. Sebab praktik kekaryaanku selama lebih dari 20 tahun adalah bahasa sangat personal. Secara kultural, Minang menyumbang kekayaan metafor lisan lebih dari visual. Jadinya, dialog saya dengan lukisan-lukisanku memungkinkan ditafsir lebih kaya yang kelak mungkin menjadi pengetahuan-pengetahuan anyar” ujarnya.
Bambang Asrini Widjanarko,
Jagakarsa, Juli 2020