Pada waktu lain, ia dengan artikulasi yang spesifik, sekaligus intim mengingatkan kita tentang eksistensi hidup manusia yang rapuh. Makhluk yang bersikeras memeluk keabadian.
Ini bisa kita jumpai di karya-karya Alfi sekitar pertengahan sampai akhir 2000-an yang berlanjut sampai lima-sepuluh tahunan, dengan serial-nya tentang lukisan berobjek manusia-manusia yang berambisi dalam proses peremajaan.
Dalam saat-saat tertentu, Alfi memang rajin membincangkan yang noninderawiah, mahir menyentuh spiritualitas dengan hidup mengingat kematian. Manusia rapuh saat sama terus-menerus didesak mengoptimalkan kekuatannya memulihkan diri.
Tapi maut tentu saja pasti tiba. Itulah mengapa ia mengakrabi eksplorasi imej-imej raga transenden dan gambar-gambar tragik serupa tengkorak.
Hal di atas, bisa juga diterjemahkan sebagai upaya Alfi mencari-cari gagasan baru, ide-ide tentang kelahiran ulangnya sebagai seniman secara terus-menerus.
Dengan konteks globalisasi, Alfi dan lukisannya gigih mengorek masa lalu, menghubungkannya dengan pengalaman individual hari ini serta beririsan ingatan tentang Indonesia-Jakarta, Sumatera Barat, Yogyakarta, Berlin, New York sampai Singapura dan Malaysia, tempat-tempat yang sempat dikunjungi.
Bingkai yang dipilih semacam sejarah personal pun komunal. Ia memampukan diri menghubungkan jarak batiniah menjadi terepresentasikan secara fisik.
Pandemi, ssolasi, dan kontemplasi
Dalam sejarah, di sepenjuru hitungan alaf, krisis mengakibatkan manusia terpapar derita dan mampu mengubahnya seketika. Demikian pula seniman, yang memang takdirnya membawa mereka suntuk menandai zaman beradaptasi pada realitas anyar.
Alfi tahu benar pandemi mencipta krisis, dan beberapa tahun terakhir ia makin matang menuruni palung-palung pergulatan estetis tentang apa itu seni, lukisan dan dirinya sebagai subjek pencipta.
Ia perlahan menanggalkan yang di luar, kulit-kulit ari. Dalam relasi pengertian ini, malahan ia “selamat” di masa pandemi. Berkah yang tetiba menyapa.
Sebagai subjek, ia mampu melepas perlahan otoritasnya sebagai pencipta namun setara dengan obyeknya, yakni lukisan yang memberinya“kebebasan berbicara” pada penciptanya.
Wabah Covid-19 memang momen istimewa menekuri (mengisolasi) sejauh mana seseorang pergi dan akhirnya sedemikian dekat ia sebenarnya berpulang. Tafakur dalam seni memberi dua arah pencerahan: menguatkan yang lemah sembari memeluk potensi yang bersemayam sejak lama: penerimaan total akan hidup.
Baca juga: Peneliti Temukan Lukisan Gua Tertua di Sumatera Berusia 6.600 Tahun
Pandemi justru memberi kekuatan tak kasat mata, yang biasanya sunyi tak berbicara, menyingkap suara batin menjadi nyaring terdengar.
Karya-karya mutakhirnya bisa kita temui menampakkan representasi riil tubuh lelaki (dirinya sendiri). Ia berpunggung telanjang, sementara horizon nun jauh menampak sederet imej deretan gunung atau bukit.