Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Film yang Mengetuk Setiap Saat

Kompas.com - 04/06/2017, 21:30 WIB

CANNES, KOMPAS.com -- Dari balik tirai panggung konvensi medis, sekelompok pegiat AIDS Coalition to Unleash Power di Paris, Perancis, tiba-tiba keluar dan mengganggu seorang pejabat yang sedang berpidato di podium.

Ada yang meniup peluit dengan suara memekakkan telinga. Ada yang berteriak dan mengecam sambil mengangkat poster tanda protes.

Dalam suasana riuh rendah itu, seorang aktivis melempar kantong plastik berisi cairan merah atau darah palsu ke pejabat yang pidatonya terhenti.

Lelaki itu berlumuran cairan merah. Sudah berhenti? Tidak.

Dua pegiat AIDS Coalition to Unleash Power (ACT UP) mendekat lalu memborgol tangan lelaki itu pada tiang panggung. Promosi yang buruk bahkan "kasar" untuk sebuah aksi unjuk rasa.

Itulah "malapetaka" yang menjadi adegan pembuka film 120 Battements Par Minute (120 Beats Per Minute) saat pemutaran perdana di Grand Theatre Lumiere, Cannes, Perancis, Sabtu (20/5/2017).

Di akhir Festival Film Internasional Cannes 2017, karya sutradara Robin Campillo itu meraih Grand Prix, FIPRESCI Prize, Francois Chalais Prize, dan Queer Palm.

Di festival yang tahun ini memasuki usia ke-70 dan berlangsung kurun 17-28 Mei 2017, film yang meraih anugerah tertinggi Palem Emas (Palme d'Or) adalah The Square karya Ruben Ostlund.

Penghargaan Grand Prix berada di bawah Palem Emas.

Baca juga: Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak Dipuji di Cannes

Nah, unjuk rasa di konvensi tadi memicu perdebatan dalam rapat ACT UP berikutnya yang mengambil latar waktu menjelang 1990.

Saat itu, Perancis dipimpin Francois Mitterand. Sementara ACT UP didominasi lelaki, gay, dan positif HIV.

Dalam rapat, mereka memberlakukan sejumlah aturan, seperti merokok harus di luar ruang rapat. Selama merokok tidak boleh berdebat, apalagi sampai mengganggu rapat.

Mereka membatasi pernyataan panjang dengan gerakan tangan membentuk huruf T untuk meminta jeda waktu (time out).

Mereka menjentikkan jari bukan tepuk tangan sebagai tanda setuju terhadap suatu pendapat.

ACT UP memaklumi tindakan melempar darah palsu merusak properti acara, memancing keributan, dan mengganggu publik.

Namun, tindakan yang dibilang terukur itu mungkin satu-satunya cara untuk mendapat perhatian tentang bahaya epidemi HIV/AIDS yang kurang disadari rezim Mitterand saat itu.

Mereka pun melanjutkan aksi serupa, bahkan lebih gila, yakni melumuri dinding kantor farmasi dengan darah palsu. Perusahaan itu dianggap lamban dan menutupi perkembangan penelitian vaksin untuk penderita HIV/AIDS.

Darah palsu memang menyeramkan, bahkan bagi pegiat HIV/AIDS. Namun, kengerian terhadap darah terkikis saat cara membuat cairan merah di bak mandi itu didiskusikan.

Hei, itu bukan darah, itu cairan merah. Setiap orang di Paris bisa membuat darah palsu, bahkan membuat Sungai Seine memerah laksana tangisan luka sang alam.

Strategi darah palsu itu membawa ACT UP ke meja konferensi menghadapi para politikus dan peneliti medis untuk segera mengatasi dan mencegah epidemi HIV/AIDS.

Di antara para pegiat, ada Sean (Nahuel Perez Biscayart) yang positif HIV, kurus, senang duduk di belakang saat rapat, berbicara, dan menantang seolah membela hal-hal yang sepertinya keliru, tetapi terdepan dalam aksi.

Ada juga Nathan (Arnaud Valois) yang negatif HIV, tetapi lebih tenang, amat tertarik kepada Sean, dan akhirnya berhubungan.

Ada juga Thibault (Antoine Reinartz) yang memiliki otoritas dalam kelompok dan kerap menimbulkan dinamika sekaligus ketegangan.

Juga ada Sophie (Adele Haenel) yang kerap jengkel, tetapi menjadi penyeimbang dalam dinamika ACT UP.

Film ini memang kemudian menjadi narasi terkait para pegiat tadi, terutama Sean dan Nathan.

Secara umum, Campillo menampilkan film yang apik dan enak dilihat. Bahkan, untuk adegan hubungan gay, Sean dan Nathan cukup elegan.

Film ini mendapat perhatian hangat dari yang salah satu diperbincangkan, termasuk kalangan sineas Indonesia.

"Mas juga lihat film itu? Kuat dan menyentuh," kata produser Mira Lesmana kepada Kompas dalam suatu perbincangan dengan sesama sineas di suatu kafe di Cannes.

"Rasanya isu HIV/AIDS cukup lama tidak diangkat dan film itu menyadarkan publik tentang masalah yang mungkin sedang dilupakan," ujar sutradara Riri Riza menambahkan.

Dalam suatu wawancara, sutradara Mouly Surya mengatakan, karya Campillo itu menjadi salah satu film yang banyak diperbincangkan di kalangan sineas di Cannes.

Baca juga: Mouly Surya Menembus Cannes

Di festival paling bergengsi sedunia ini, film-film yang mendapat apresiasi positif secara umum membawa ide atau pesan amat kuat meski sederhana, narasi kehidupan yang enak dilihat dengan gambar-gambar yang merupakan hasil pengambilan dengan teknik luar biasa.

Satir yang getir
Sang pemenang The Square merupakan drama satir kehidupan.

Baca juga: Joaquin Phoenix dan Diane Kruger Menang di Festival Film Cannes

Film Ostlund ini menceritakan Christian (Claes Bang), ayah tunggal bagi dua anak dan penganut altruisme. Ia kurator sukses di museum seni kontemporer dan menganggap pekerjaannya amat penting.

Beberapa hari sebelum pembukaan pameran bertajuk The Square, Christian dirampok dan mencoba memburu pelakunya sendirian.

Saat bersamaan, Christian menyewa agensi komunikasi untuk memasarkan pameran tersebut yang rupanya membuat kampanye tak terduga, terutama bagi kalangan penganut altruisme seperti Christian.

Ia pun terjebak situasi yang selalu mempertanyakan moralitas diri. Selain tokoh Christian, ada Anne (Elisabeth Moss) dan Julian Gijoni (Dominic West).

Dari sejumlah review, film ini dikatakan cerdas meski provokatif. Misalnya, tampak manusiawi ketika seseorang senang melihat orang lain mendapat kesialan.

Sebagian adegan humor terasa amat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Analoginya, jika kita menunjuk seseorang, tiga jari menunjuk balik ke arah kita. Setiap manusia pada dasarnya memiliki sisi bodoh dan rasa canggung.

Dalam kehidupan, bisa saja seorang manusia bertindak konyol akibat interaksi dengan orang lain secara terus-menerus.

Kebodohan yang dilakukan malah semakin meningkat dan menjebak seseorang dalam situasi yang sulit. Namun, rentetan tindakan ibarat simfoni kehidupan yang jika datar tentu tak menyenangkan.

The Square yang sukses meraih penghargaan bergengsi seakan ingin menunjukkan bahwa ide cerita amat sederhana bisa ditampilkan dan menjadi nyawa sebuah film yang apik. Ostlund telah membuktikannya.

Panggung Cannes mengingatkan kita akan hal-hal yang terlupa dan sederhana dengan sudut pandang yang tak biasa. (AMBROSIUS HARTO)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juni 2017, di halaman 18 dengan judul "Film yang Mengetuk Setiap Saat".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com