Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Salawaku": Obat Luka di Pulau Seram

Kompas.com - 19/02/2017, 17:00 WIB

Salawaku berhasil lolos sekali dari pengejaran, tetapi di tengah jalan bertemu dengan Kawanua yang lalu berjanji membantunya mencari sang kakak.

Ketiganya lalu berjalan bersama dengan segala ketegangannya. Tanpa diketahui Salawaku, orang-orang dewasa di sekitarnya, Binaiya, Kawanua, dan Saras semua menyimpan rahasia.

Sepanjang perjalanan, interaksi antara Saras dan Salawaku yang berbeda usia dan konteks sosial budaya ditampilkan wajar dan diselipi humor. Seperti ketika Saras beralasan menemani pencarian Salawaku sebagai balas budi.

"Budi itu siapa, Kak?" tanya Salawaku polos atau ketika bocah itu keheranan dengan Saras yang menyebutnya "gagal paham" dan bingung dengan Saras yang selalu berkutat dengan gawainya.

"Saya tidak ingin film ini hanya berkutat tentang satu daerah dengan budaya yang tak sepenuhnya kami kuasai karena itu tokoh Saras dari Jakarta ditambahkan," ujar Pritagita.

Seiring langkah Saras, Salawaku, dan Kawanua, keindahan alam Seram barat dihadirkan.

Semburat matahari senja, pantai putih, taman bawah laut, dan air terjun Lumoli yang cantik. Begitu pula makanan-makanan khas di sana.

Gambar-gambar sengaja dihadirkan seperti apa adanya, termasuk warnanya, sehingga terkesan riil serta terasa pula betapa terang dan teriknya matahari Indonesia timur.

Produser nekat
Penggarapan film Salawaku pun berawal dari perjalanan nekat sejumlah produser muda yang masih duduk di bangku kuliah jurusan film di Universitas Bina Nusantara di Jakarta. Mereka rata-rata berusia awal 20 tahun.

"Waktu itu, pulang liburan dari Pulau Seram dan kami begitu terkesan. Bagi kami yang penting membuat karya dan puas dengan itu, tulus saja," ujar Mike Julius, salah satu produser.

Para produser baru itu lalu bertemu Pritagita yang lebih dari sembilan tahun menjadi penjaga script continuity dan asisten sutradara di sejumlah film.

Lantaran keterbatasan dana, film itu dirancang tidak besar dan dengan kru terbatas, tetapi tidak mengorbankan kualitas.

Di tengah ketatnya dana dan lokasi syuting di Indonesia timur, pengambilan gambar tak bermanuver dengan drone ataupun track. Semua gambar diambil dari pengalaman wajar mata manusia sehari-hari.

"Kita ketika datang ke suatu tempat baru tidak mungkin kita melayang-layang di udara. Segala yang kita lihat dengan berdiri di atas kaki kita. Itu pilihan tepat untuk film ini. Jika saya bekerja dalam film lain, bisa jadi pilihannya berbeda, sesuai kebutuhan," ujarnya.

Karya film tersebut terbukti berjaya di sejumlah ajang. Film itu menang untuk kategori pengarah sinematografi terbaik (Faozan Rizal), pemeran pendukung wanita terbaik (Raihaanun), dan pemeran anak terbaik (Elko Kastanya).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com